Untuk itu, bangsa Indonesia sepakat membentuk dan menetapkan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional hidup bernegara hukum. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menetapkan "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".
Pasal ini meletakkan dasar hukum Indonesia sebagai negara demokrasi, yang memberikan kekuasaan tertinggi Negara kepada rakyatnya, namun pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut harus berdasarkan UUD 1945.
Melalui Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 20A, dan Pasal 21 UUD 1945 rakyat Indonesia menyerahkan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk membentuk UU kepada DPR dan Presiden sebagai legislator (pembentuk UU).
DPR dan Presiden adalah dua lembaga negara yang dipilih oleh rakyat sehingga DPR dan Presiden mewakili dan mengimplementasikan secara bersama-sama keinginan/aspirasi rakyat saat membentuk UU.
Untuk menghasilkan UU yang aspiratif, proses pembentukannya telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.
Ketentuan-ketentuan tersebut telah mengatur perilaku DPR dan Presiden untuk membentuk UU, mulai dari persiapan sampai dengan desiminasi UU.
UU Cipta Kerja telah dibentuk sesuai dengan ketentuan di atas. Meskipun rancangannya disiapkan dan diajukan oleh Presiden kepada DPR, namun proses pembahasannya telah mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, serta pengesahannya menjadi UU oleh Presiden.
Selama proses pembentukan UU, hak demokrasi rakyat untuk membentuk UU sudah diwakili oleh DPR dan Presiden.
Meskipun seharusnya tidak terjadi, namun pada akhirnya rakyat masih memiliki hak menyampaikan pendapat kepada DPR dan Presiden sesuai dengan UU No. 9 Tahun 1998, jika rakyat masih menganggap DPR dan/atau Presiden belum/tidak menyerap aspirasinya.
Pendapat yang disampaikan rakyat dapat berupa masukan, kirik, saran, bahkan penolakan terhadap RUU tersebut, yang disampaikan melalui forum penyusunan Naskah Akademik, hearing pendapat di DPR, bahkan melalui unjuk rasa.