Hal itu penting, mengingat manusia adalah makhluk pribadi dan sekaligus sebagai mahluk sosial. Dengan segala kelengkapan lahir dan batinnya, setiap pribadi memiliki kemampuan untuk meraih yang diinginkannya.
Namun, ketika yang diinginkan itu bersinggungan atau berlawanan dengan pribadi lain, maka rasa ego kerap menjadi tameng untuk mendapatkan apapun yang diinginkannya hingga akhirnya dapat menimbulkan konflik dengan pribadi lain.
Apabila mampu memahami dan menyadari bahwa manusia juga adalah mahluk sosial yang tidak mampu hidup sendirian, maka akan timbul sikap dan perilaku yang empati serta toleransi terhadap sesamanya. Dengan demikian, akan timbul upaya untuk menciptakan perilaku seimbang yang menghormati dan menguntungkan semua pihak.
Pada saat ini, manusia tidak lagi berada pada status naturalis (status alamiah), tetapi berada pada status sipil (status bernegara).
Meskipun manusia merupakan bagian dari alam semester, namun dalam kehidupan bernegara manusia merupakan bagian dari bangsa suatu negara.
Filsuf Thomas Hobbes dan John Locke sudah mengingatkan bahwa negara lahir dari perjanjian masyarakat (kontrak sosial) dan negara adalah suatu organisasi yang dipilih manusia untuk menjamin pemenuhan keinginannya.
Setiap individu berjanji membentuk negara dan menyerahkan hak-hak kehidupan bernegaranya kepada orang yang disetujui dan diangkatnya menjadi pemimpin negara.
Perilaku manusia tidak lagi berorientasi pada kepentingan pribadi semata, tetapi utamanya memperhatikan kepentingan bersama.
Pemahaman ini disadari oleh founding fathers bangsa Indonesia yang akhirnya meletakkan prinsip keseimbangan perilaku hidup bernegara pada asas kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Untuk menjamin keseimbangan perilaku, founding fathers telah memilih paham negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) dengan meletakkan kedaulatan di tangan rakyat.