Ketika rakyat berunjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja berarti saat itu telah terjadi masa kontroversi RUU antara pembentuk UU (DPR dan Presiden) dengan rakyat.
Perbedaan paham, pandangan, pendapat, dan keinginan antara kedua belah pihak dapat disampaikan dan diselesaikan melalui perilaku seimbang.
Rakyat dapat menyampaikan aspirasinya dengan baik secara lisan melalui unjuk rasa atau delegasi perwakilannya atau menyampaikannya secara tertulis melalui surat resmi atau media tulis lainnya kepada DPR dan/atau Presiden.
DPR dan Presiden wajib merespons aspirasi rakyat dengan sikap dan perilaku yang aspiratif.
Perilaku penyampaikan aspirasi oleh rakyat secara terbuka melalui unjuk rasa perlu diseimbangkan dengan batas-batas yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998, baik mengenai maksud dan tujuan, lokasi dan rute, waktu dan lamanya kegiatan, bentuk kegiatan, penanggung jawab, nama dan alamat organisasi atau kelompok atau perorangan yang berunjuk rasa, alat peraga yang digunakan, jumlah peserta, wajib menghormati hak dan kebebasan orang lain, menaati hukum, menghormati aturan moral, menjaga keamanan dan ketertiban, serta menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
Unjuk rasa di depan Gedung DPR dan sekitarnya, di depan Istana Negara dan sekitarnya, serta tempat-tempat lain di seluruh Indonesia yang berujung pada pengrusakan fasilitas umum dan milik warga masyarakat, korban luka-luka, dan bentuk kerugian lain merupakan wujud perilaku konflik atau perilaku yang tidak seimbang, yang sebaiknya tidak boleh terjadi.
Perilaku unjuk rasa yang baik sesuai aturan yang berlaku, dilakukan dengan tata cara yang baik, dan menjaga hak-hak orang lain adalah wujud perilaku berimbang.
Terhadap RUU Cipta Kerja yang sudah disahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020, masyarakat yang masih menolak UU tersebut masih dapat menyalurkan aspirasinya melalui perilaku seimbang.
Menurut Pasal 24A UUD 1945, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan UU No. 12 Tahun 2011, UU Cipta Kerja hanya dapat dibatalkan dengan putusan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, pencabutan dengan UU, atau pembatalan dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Apabila aspirasi masyarakat hanya ingin mengubah beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja, maka hal itu dapat dilakukan dengan UU Perubahan. Mekanisme tersebut merupakan kesepakatan hukum masyarakat (rakyat) yang diciptakan dalam sistem demokrasi perwakilan di Indonesia.
Kesepakatan hukum ini telah memberikan hak dan kewajiban kepada semua pihak yang terkait dengan pembuatan UU, perubahan UU, dan penyampaian aspirasi masyarakat kepada pembentuk UU (legislator).