JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Rabu (4/11/2020). Permohonan tersebut diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS).
Sidang dipimpin oleh Arief Hidayat sebagai hakim ketua, serta Wahiduddin Adams dan Manahan M. P Sitompul sebagai hakim anggota.
Sekretaris Umum DPP FSPS Muhammad Hafidz menjelaskan bahwa bukti yang diajukan dalam gugatan adalah UU Cipta Kerja yang belum diberi nomor oleh pemerintah. Lantas Ia meminta izin memperbaiki substansi permohonan untuk sidang berikutnya.
Baca juga: FSPS Harap MK Kabulkan Seluruh Permohonan Uji Materi UU Cipta Kerja
"Bukti Undang-Undang Cipta Kerja yang pemohon sampaikan kepada Mahkamah adalah draf UU Cipta Kerja pasca disetujui DPR yakni versi 905 halaman," kata Hafidz.
"Sedangkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja versi yang diundangkan sebanyak 1.187 halaman," tutur dia.
Kendati demikian, Hafidz tetap menyampaikan beberapa pasal yang digugat oleh FSPS.
Adapun pasal yang digugat dan dimohonkan untuk diuji yakni Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Pasal ini mengatur soal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Sementara, Pasal 81 angka 19 menghapus ketentuan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan. Pasal ini semula mengatur tentang perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis.
Baca juga: Poin Pasal 81 UU Cipta Kerja Digugat ke MK, Ini Alasan Serikat Pekerja Singaperbangsa
Kemudian, Pasal 81 angka 25 mengatur tentang ketentuan baru yakni Pasal 88D ayat 2 mengenai upah minimum pekerja dan Pasal 81 angka 29 yang menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan mengenai pengaturan pengupahan.
Serta, Pasal 81 angka 44 mengubah Pasal 156 dalam UU Ketenagakerjaan. Pasal tersebut awalnya mengatur kewajiban perusahaan membayar uang pesangon atau uang penghargaan jika terjadi pemutusan hubungan kerja.
FSPS menilai seluruh pasal tersebut berpotensi merugikan kelompok buruh.
"Muatan materi yang terkandung dalam pasal a quo, setidaknya berpotensi merugikan hak-hak konstitusional khususnya anggota permohon dan umumnya pekerja atau buruh," ujarnya.
Alasan gugatan
Hafidz menuturkan beberapa alasan mengapa pihaknya mengajukan uji materill UU Cipta Kerja ke MK.
Misalnya, Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja dinilai tidak lebih baik dan justru menghilangkan pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu.