Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Hoaks adalah Ancaman Nyata

Kompas.com - 14/09/2020, 18:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Yugih Setyanto

KEJADIAN mengamuknya oknum TNI di daerah Ciracas beberapa waktu lalu kembali mengusik keprihatinan kita akan betapa mudahnya berita bohong (hoaks) memberi dampak yang buruk.

Bukti nyata ini menjadi peringatan kesekian kalinya bahwa hoaks merupakan pemicu nyata bahaya perpecahan dan kehancuran di masyarakat. Terlebih yang sangat disayangkan adalah hoaks ini justru disebarkan oleh oknum dari sebuah institusi yang menjadi garda depan dari penjaga keutuhan Indonesia.

Untungnya pimpinan TNI cepat merespons peristiwa ini dan telah diambil langkah- langkah hukum. Namun, korban dan kerugian sudah terjadi. Masyarakat dan negara menjadi korbannya.

Kantor Polsek Ciracas yang merupakan aset negara hancur, harta benda milik masyarakat pun rusak. Total kerugian materi lebih dari Rp 500 miliar. Belum lagi korban luka serta ketakutan yang diderita masyarakat yang sulit untuk dapat diobati.

Kehancuran yang diakibatkan hoaks sudah beberapa kali terjadi. Ada pihak-pihak tertentu yang masih belum menyadari bahkan secara sengaja membuat hoaks dengan alasan-alasan yang sulit dipercaya.

Pertanyaannya adalah mengapa kita mudah sekali mempercayai hoaks. Jawabannya tentu ada beberapa alasan. Semakin banyaknya informasi yang menyebar ditambah semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi bisa jadi salah satu penyebabnya.

Kemajuan teknologi seperti semakin canggihnya alat komunikasi dan berkembangnya media sosial membuat siapa saja bisa membuat berita.

Setiap individu atau kelompok dengan mudahnya membuat sebuah informasi lalu ditayangkan melalui media sosial. Ini menjadi rentan terjadi hoaks.

Hoaks sendiri mengutip Romelteamedia (Juditha, 2014) bahwa Istilah hoaks ini mulai populer seiring dengan popularitas media online, terutama media sosial.

Pellegrini (2008) mengembangkan definisi hoaks dari MacDougall dan menjelaskannya sebagai sebuah kebohongan yang dikarang sedemikian rupa oleh seseorang untuk menutupi atau mengalihkan perhatian dari kebenaran, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, baik itu secara intrinsik maupun ekstrinsik.

Informasi yang dipublikasikan melalui media digital cenderung dipilih karena memang memiliki kecepatan akses yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan media konvensional.

Sayangnya, sebagai akibat kecepatan akses tersebut, informasi yang beredar acap kali tanpa melalui proses penyuntingan dan verifikasi kebenaran yang jelas.

Akibatnya, masyarakat merasa linglung "kebingungan" ketika berita fakta dan berita bohong berseliweran silih berganti dengan begitu cepatnya.

Gejala yang merujuk pada fenomena yang dikenal dengan istilah kejutan budaya (culture shock).

Kejutan ini ditandai dengan hadirnya kegelisahan yang dirasakan seseorang atau masyarakat ketika beralih ke lingkungan kultur yang berbeda (dalam konteks ini era digital) serta munculnya disorientasi personal terhadap pengalaman baru dalam memanfaatkan teknologi (Aribowo, 2017).

Masyarakat Telematika (Mastel) pada tahun 2017 melakukan survei tentang "Wabah Hoaks" yang hasilnya menyebutkan bahwa saluran yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoaks adalah media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path) yang mencapai 92, 40 persen, disusul oleh aplikasi chatting (WhatsApp, Line, Telegram) sebanyak 62,80 persen dan melalui situs web sebanyak 34,90 persen.

Adapun jenis hoaks yang paling banyak diterima masyarakat adalah masalah sosial politik, yakni sebanyak 91,80 persen, SARA sebanyak 88,60 persen dan kesehatan sebanyak 41,30 persen (Christiany Juditha dalam Jurnal Pikom Vol. 19 No. 1 Juni 2018)

Dalam kasus Ciracas, menurut hasil penyelidikan, terungkap bahwa salah satu alasan terjadinya penyerangan adalah hoaks yang disebar oknum TNI AD yang berisi informasi yang dicerna rekan-rekannya menggangu jiwa korsa mereka.

Informasi yang diterima tanpa diolah menjadi pemantik atau stimulus fatal terjadinya respon yang merusak. Ditambah kecepatan dan mudahnya informasi menyebar di antara kelompok mereka.

Kita mengetahui bahwa media konvensional yang selama ini menjadi sumber informasi masyarakat adalah media cetak, media elektronik dan media online.

Pada lembaga media resmi ini telah terjadi proses pengolahan informasi menjadi sebuah berita yang layak untuk disampaikan kepada masyarakat.

Proses ini melalui berbagai tahap di redaksi seperti cek dan cek ulang serta cover both side, informasi diolah menjadi berita yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Walau saat ini media sosial dan berita online menjadi salah satu sumber informasi masyarakat dan mulai menggusur media konvensional.

Menurut Direktur The Political Literacy Institute dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto dalam artikelnya pada harian Republika menulis, kata kunci dalam memahami hoaks adalah penipuan publik.

Pembeda hoaks dengan penipuan lainnya adalah pada karateristiknya yang menjangkau khalayak luas, populer, dan masif.

Namun, mengapa masyarakat masih mengkonsumsi berita bohong padahal pilihan berita dari banyak media mudah diakses. Inilah yang menarik untuk didiskusikan.

Hoaks sangat subur di media sosial dimana setiap individu bisa mengakses dengan mudah.

Materi hoaks mudah diterima serta mudah pula disebar. Naluri ingin tahu manusia dapat menjadi penyebab masyarakat mudah mengonsumsi hoaks.

Rasa ingin tahu ini memotivasi individu untuk mencari-cari sebuah informasi yang menjadi ketertarikannya. Oleh sebab itu hoaks selalu seputar kejadian di sekitar kita.

Penjelasan alasan penyebab penyebaran hoaks dikarenakan seseorang cenderung melihat "bias informasi" dan hanya menaruh perhatian, serta menyebarkan informasi yang sesuai dengan kepercayaannya. Bahkan meski informasi tersebut palsu.

Penjelasan lain dalam sumber yang sama mengenai fenomena hoaks ini menyatakan bahwa banyak orang kurang peduli pada kredibilitas sumber berita. Apakah sebuah informasi berasal dari situs "abal-abal" atau yang memiliki kaidah jurnalistik.

Di lain pihak, saat mencari informasi online kita sering mendapatkannya dari teman. Karena kita cenderung percaya pada teman, saringan kognitif di otak kita menjadi lemah.

Kita percaya begitu saja pada apa yang ia bagikan. Apalagi kalau teman tersebut selama ini kita kenal jujur maka kita merasa tak perlu memeriksa apakah informasi itu fakta atau palsu.

Ini sebabnya media sosial menjadi lahan yang subur untuk menyebarkan kabar bohong.

Ditambah memang ada pihak yang punya agenda tertentu sehingga menciptakan informasi untuk kepentingannya. Ini yang berbahaya dan dapat menimbulkan perpecahan.

Sebaiknya kita mengikuti informasi dari berita-berita yang disajikan media yang memang memiliki reputasi untuk dipercaya.

Media cetak dan elektronik (TV dan radio) bisa dijadikan acuan akan kebenaran informasi yang ingin kita ketahui.

Adapun media online agar kita dapat memilah dengan cermat. Pilihlah media online yang benar-benar memiliki reputasi akan kebenaran beritanya, seperti Kompas.com atau beberapa media terpercaya lainnya.

Setiap individu harus menjadi "lembaga sensor" bagi dirinya sendiri. Dalam level keluarga, orangtualah yang berperan memberi pemahaman, pengertian dan pengawasan pada anak-anaknya.

Adapun dalam sebuah institusi, para pimpinannyalah yang mengoptimalkan komunikasi internal agar gejala penyebaran hoaks agar dapat dieliminir dan terdeketsi sejak dini.

Dengan membuka saluran-saluran komunikasi dalam institusi juga dapat memberi forum bagi terjadinya komunikasi internal yang konstruktif.

Menteri propaganda NAZI Joseph Goebbels pernah menyatakan lebih memilih diberi satu media daripada satu batalion pasukan untuk memenangkan peperangan.

Sebab, dengan satu media dia dapat menciptakan kebenaran melalui pola, kebohongan yang disampaikan berulang-ulang melalui media dapat diterima menjadi kebenaran (Syahputra, 2019).

Ungkapan Goebbels bisa menggambarkan dahsyatnya kekuatan kebohongan yang dapat menghancurkan segalanya. Persis kejadian di Ciracas.

Kita sebagai masyarakat juga harus belajar dari berbagai kejadian ini. Mari kita cerna dan pahami setiap informasi yang diterima sebaik-baiknya.

Bila menerima informasi yang dianggap tidak benar atau bahkan benar sekalipun namun dapat memberi dampak buruk, jangan diteruskan ke pihak mana pun.

Sungguh hoaks merupakan ancaman nyata bagi siapa pun termasuk masyarakat yang tidak mengerti apa-apa.

Yugih Setyanto
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitar Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com