Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sulitnya Ungkap Laporan TPF Kasus Munir sejak Era SBY hingga Jokowi...

Kompas.com - 08/09/2020, 18:02 WIB
Achmad Nasrudin Yahya,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pejuang hak asasi manusia Munir Said Thalib dibunuh 16 tahun lalu, pada 7 September 2004, namun hingga kini masih menyisakan tanda tanya besar mengenai pelaku dan dalangnya.

Secercah harapan sempat muncul dalam upaya mengungkapkan dalang sesungguhnya, yang membuat Cak Munir tewas diracun.

Harapan semula muncul saat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencoba mendapatkan berbagai informasi terkait penyelidikan dan penyidikan pembunuhan Munir.

Salah satu dokumen yang dianggap penting adalah Laporan Tim Pencari Fakta Kasus Munir. Menurut Kontras, dokumen itu belum pernah diumumkan ke publik sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo.

Baca juga: Kisah Cinta Munir dan Suciwati, Risiko hingga Kengerian yang Dilalui…

Upaya agar masyarakat mendapatkan transparansi terhadap Laporan TPF Kasus Munir dilakukan, Kontras kemudian berharap kepada Komisi Informasi Pusat (KIP).

Ajukan sengketa informasi

Pada (28/4/2016), bersama istri Munir, Suciwati, Kontras mendaftarkan permohonan sengketa informasi ke KIP, mendesak Kementerian Sekretariat Negara mengumumkan Laporan TPF Kasus Munir.

Kontras berharap KIP bisa memecahkan kebuntuan dalam penuntasan kasus Munir, sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Alasan Kontras, KIP "memberikan energi positif di tengah menghadapi tantangan sulitnya masyarakat dalam mengakses dan mendapatkan informasi dari Lembaga Publik Negara tanpa alasan yang jelas."

Baca juga: Pengungkapan Kasus Kematian Munir yang Jadi Ujian Sejarah...

Dalam dokumen kesimpulan sebagai Pemohon yang diajukan ke KIP, Kontras menjelaskan bahwa Tim Pencari Fakta Kasus Munir dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 pada 22 Desember 2004 oleh Presiden SBY.

TPF telah bekerja selama enam bulan, dan menyerahkan laporan penyelidikan pada 24 Juni 2005. Penyerahan ini sehari setelah berakhirnya masa kerja anggota TPF Munir.

Menurut Koordinator Kontras saat itu, hasil laporan TPF Kasus Munir diserahkan kepada Presiden SBY oleh Ketua TPF Brigjen Marsudi Hanafi.

"Namun demikian, laporan yang diserahkan tersebut hingga hari ini belum pernah diumumkan secara resmi oleh Pemerintah c.q Presiden RI kepada publik sebagaimana mandat Penetapan Kesembilan dari Keppres dimaksud," demikian penjelasan Kontras saat menjelaskan alasan mengajukan sengketa informasi ke KIP.

Baca juga: Ironi Munir Pilih Garuda Menuju Belanda...

Mahasiswa melakukan unjuk rasa dengan membawa foto almarhum Munir Said Thalib di Kampus UNS, Solo, Jawa Tengah, Selasa (10/9). Unjuk rasa tersebut digelar untuk memperingati 15 tahun meninggalnya aktivis HAM Munir serta meminta pemerintah serius dalam menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. BBC News Indonesia Mahasiswa melakukan unjuk rasa dengan membawa foto almarhum Munir Said Thalib di Kampus UNS, Solo, Jawa Tengah, Selasa (10/9). Unjuk rasa tersebut digelar untuk memperingati 15 tahun meninggalnya aktivis HAM Munir serta meminta pemerintah serius dalam menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu.
Persidangan perdana KIP mengenai Laporan TPF Munir dilakukan pada 22 Juni 2016. Namun, sidang perdana itu ditunda karena ketidakhadiran Kemensetneg yang beralasan sedang menyiapkan dokumen persidangan.

Dalam sidang perdana itu, Kontras yang diwakili Haris Azhar mengungkapkan bahwa pada 17 Februari 2016 Kontras mengajukan permohonan ke Setneg untuk segera mengumumkan laporan TPF Munir.

Namun, permohonan itu ditolak dengan alasan tidak menguasai dokumen yang dimaksud.

Baca juga: Di Sidang KIP, Kontras Beberkan Kronologi Penolakan Setneg Buka Hasil Laporan TPF Munir

Sidang kemudian berlanjut dengan mengungkap sejumlah fakta menarik. Di antaranya, dalam sidang keenam pada 19 September 2016, Kepala Bidang Pengelola Informasi Publik Kemensetneg, Faisal Fahmi, menyangkal jika Kemensetneg menyimpan laporan hasil investigasi TPF Kasus Munir.

Kemensetneg, kata dia, hanya menerima laporan terkait administrasi, misalnya anggaran. Sementara laporan terkait hasil investigasi TPF, lanjut Faisal, tidak disimpan Kemensetneg.

Baca juga: Di Sidang KIP, Setneg Nyatakan Tak Pernah Terima Laporan TPF Munir

Setelah menjalani sejumlah persidangan, pada 10 Oktober 2016, KIP kemudian membuat putusan bahwa hasil investigasi dan alasan pemerintah tak juga membukanya ke publik merupakan informasi yang wajib diumumkan.

Namun, Kementerian Sekretariat Negara di era Presiden Joko Widodo mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pemerintah dimenangkan oleh PTUN pada 16 Februari 2017. Upaya penuntasan kasus Munir pun kembali menemui tembok penghalang.

Kendati kalah, upaya untuk membuka tabir gelap penyelesaian kasus Munir tak berhenti di situ. Upaya kasasi diajukan ke Mahkamah Agung (MA) oleh Kontras dan Imparsial.

Dalam persidangan pada 13 Juni 2017, MA memutuskan memenangkan pemerintah. Putusan itu otomatis menguatkan putusan PTUN.

Sederet kemenangan ini pun semakin menjauhkan harapan untuk membuka hasil investigasi atas kematian Munir ke publik.

Baca juga: Suciwati dan Ruang-ruang Kengerian yang Dilaluinya Bersama Munir...

Kecaman untuk Jokowi

Namun, kemenangan yang diraih pemerintah mendapat banjir kecaman dari publik.

Langkah Jokowi untuk mengambil langkah banding ke PTUN atas hasil putusan KIP dinilai sebagai pengingkaran atas janji kampanye Pemilu Presiden 2014, yang salah satunya adalah mengungkap dalang kasus pembunuhan Munir.

"Pemerintah tidak memiliki political will yang baik terhadap kasus Munir. Harusnya, menjalankan amanat tersebut," kata Direktur Imparsial Al Araf saat itu.

Baca juga: Jika Tak Ungkap Laporan TPF Kasus Munir, Pegiat HAM Ancam Pidanakan Jokowi

Dengan fakta tersebut juga semakin menandaskan jika pemerintah semakin enggan membuka kasus Munir.

Sementara, bagi Suciwati, tak ada upaya pengungkapan dalang pembunuhan sumainya juga semakin mengindikasikan adanya permufakatan jahat.

"Ini permufakatan jahat penjahatnya kuat, sehingga presiden tidak berani mengungkapnya," kata dia, dalam konferensi pers 15 Tahun Terbunuhnya Aktivis HAM Munir di Kontras, Jumat (6/9/2019).

Baca juga: 15 Tahun Terbunuhnya Munir, Suciwati: Penjahatnya Kuat sampai Presiden Tak Berani

 

Potret aktivis HAM, Munir Said Thalib, dalam film Kiri Hijau Kanan MerahARSIP PANITIA Pekan Merawat Ingatan 12 Tahun Munir Potret aktivis HAM, Munir Said Thalib, dalam film Kiri Hijau Kanan Merah

Laporan TPF Hilang di Era SBY?

Selain Jokowi, sorotan juga mengarah kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjabat ketika TPF Kasus Munir menyerahkan laporannya.

Awalnya, informasi ini disampaikan Mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Menurut Yusril, laporan TPF diserahkan langsung ke Presiden SBY pada 2005.

Namun, Yusril menyatakan bahwa laporan tidak melalui Sekretariat Negara.

"Setahu saya pada waktu itu TPF menyerahkan laporan itu langsung by hand kepada Presiden," kata Yusril saat dihubungi Kompas.com pada 13 Oktober2016.

Baca juga: Yusril: Laporan TPF Kasus Munir Diserahkan Langsung ke SBY

Yusril menjelaskan, saat itu SBY tidak memerintahkan agar Sekretariat Negara mengarsipkan dokumen tersebut.

Oleh karena itu, Yusril menilai wajar apabila saat ini dokumen tersebut tidak ada di Sekretariat Negara.

"Kalau ditanya ke saya di mana arsip itu, ya tanya saja sama SBY," kata dia.

Yusril menilai, memang tidak semua dokumen yang diserahkan kepada Presiden harus diregistrasi di Setneg. Hanya saja, yang jadi permasalahan adalah SBY tidak mengumumkan dokumen hasil tim pencari fakta itu hingga akhir masa jabatannya.

Kemudian, SBY memanggil sejumlah mantan pejabat di era Kabinet Indonesia Bersatu, saat dia menjabat presiden. Mereka yang diundang antara lain mantan Ketua TPF Kasus Munir Marsudhi Hanafi dan mantan Sekretaris Negara Sudi Silalahi.

Namun, tidak ada penjelasan di mana laporan TPF Kasus Munir itu disimpan.

"Menurut ingatan beliau, terdapat sekitar enam eksemplar (salinan dokumen TPF Munir) yang diserahkan kepada pemerintah," ujar Sudi Silalahi dalam konferensi pers di rumah SBY, Puri Cikeas, Bogor, 25 Oktober 2016.

Baca: Cerita SBY Telusuri Dokumen TPF Pembunuhan Munir

Sudi tidak menjelaskan di mana naskah asli dokumen TPF tersebut. Tidak ada sesi tanya jawab dalam konferensi pers itu.

Secara simbolik, naskah pertama diserahkan kepada SBY selaku Presiden. Sisanya dibagikan ke pejabat terkait, yakni Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Menkumham, dan Sekretaris Kabinet.

Sudi mengatakan, pemangku jabatan-jabatan itu saat ini tentunya telah berganti orang.

"Kami berharap para pejabat yang sedang mengemban tugas di jajaran lembaga kepresidenan, baik saat ini atau di masa Presiden SBY yang mengetahui di mana naskah itu disimpan, bisa menyerahkannya ke Presiden Jokowi," ujar Sudi.

Munir diketahui tewas setelah hasil autopsi menunjukkan ada jejak-jejak senyawa arsenik di dalam tubuhnya. Sejumlah dugaan menyebut bahwa Munir diracun dalam perjalanan Jakarta-Singapura, atau bahkan saat berada di Singapura.

Pemberitaan Harian Kompas 8 September 2004 menyebutkan, Munir meninggal dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam melalui Singapura, atau sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, pukul 08.10 waktu setempat.

Pesawat GA-974 berangkat dari Jakarta, Senin pukul 21.55, lalu tiba di Singapura hari Selasa pukul 00.40 waktu setempat. Setelah itu, pesawat melanjutkan perjalanan ke Amsterdam pukul 01.50.

Namun, tiga jam setelah pesawat lepas landas dari Bandara Changi, seorang pramugara senior bernama Najib melapor kepada pilot Pantun Matondang bahwa Munir yang saat itu duduk di kursi nomor 40G sakit.

Ada seorang dokter yang duduk di kursi nomor 1J yang ikut dalam perjalanan tersebut kemudian menolongnya.

Akan tetapi, nyawa Munir tak bisa ditolong ketika dua jam menjelang pesawat akan mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal 'Presidential Club' Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Soal "Presidential Club" Prabowo, Bamsoet Sebut Dewan Pertimbangan Agung Bisa Dihidupkan Kembali

Nasional
KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com