Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rizal Ramli Gugat UU Pemilu ke MK, Minta Presidential Threshold Dihapus

Kompas.com - 07/09/2020, 10:45 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli mengajukan permohonan uji materi ketentuan ambang batas presiden (presidential threshold) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Uji materi itu dimohonkan Rizal bersama seorang rekannya bernama Abdulrachim Kresno.

Keduanya meminta agar ambang batas presiden dihilangkan dan Mahkamah menyatakan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi.

Adapun, Pasal 222 UU Pemilu berbunyi, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".

Baca juga: Batas Maksimal dan Minimal Presidential Threshold Diusulkan Diatur dalam RUU Pemilu

"Menyatakan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," bunyi petikan petitum dalam berkas permohonan yang diunggah laman MK RI.

Berdasarkan dokumen yang diunggah di laman MK, diketahui bahwa permohonan itu diregistrasi pada Jumat (4/9/2020) lalu.

Pemohon berpandangan bahwa adanya presidential threshold telah mengabaikan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Sebab, dengan ketentuan itu, tak semua warga negara bisa mencalonkan diri sebagai presiden.

Baca juga: PDI-P Rekomendasikan Presidential Threshold Tetap 20 Persen

Pencalonan presiden hanya dapat dilakukan melalui partai politik yang punya suara besar.

Hal ini dinilai pemohon sebagai upaya partai besar untuk menghilangkan pesaing dalam Pilpres.

"Aturan presidential threshold merupakan upaya terselubung, bahkan terang-terangan, dari partai-partai besar untuk menghilangkan pesaing atau penantang dalam pemilihan presiden," bunyi petikan permohonan.

Menurut pemohon, berkaca dari Pilpres 2014 dan 2019 yang hanya terdapat dua paslon, berakibat pada polarisasi dukungan politik dalam masyarakat.

Terjadi pula politik identitas, hoaks, eksploitasi sebaran kebencian yang menjadikan masyarakat terbelah ke dalam dua kelompok besar.

Baca juga: Wakil Ketua Komisi II DPR Sebut Ada yang Ingin Presidential Threshold Berubah

Padahal, sejatinya pemilihan umum harus mengedepankan prinsip keadaban, sopan santun, tertib dan damai, tidak malah menimbulkan ketakutan bagi pemilih dalam menyampaikan aspirasi dan pilihan politiknya.

Oleh karena alasan-alasan ini, Rizal dan Abdulrachim meminta MK menghapus ketentuan tentang presidential threshold.

"Telah memberikan pelajaran berharga bagi pembentuk kebijakan untuk mengeliminasi/menghapus pemberlakuan presidential threshold karena telah melahirkan kegaduhan politik yang berlarut-larut dan mengancam rasa aman masyarakat," bunyi petikan permohonan.

"Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah untuk menghapus ketentuan atau syarat presidential threshold," lanjut petikan permohonan itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

“Oposisi” Masyarakat Sipil

“Oposisi” Masyarakat Sipil

Nasional
Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Nasional
Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Nasional
Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Nasional
Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com