Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 19/08/2020, 17:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, berbagai perubahan tentang ketenagakerjaan dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja banyak merugikan para pekerja.

Salah satu catatan YLBHI, yaitu RUU Cipta Kerja berpotensi melanggengkan sistem kerja kontrak seumur hidup bagi pekerja.

"Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ditentukan sesuai kesepakatan para pihak. Ketentuan ini dapat melanggengkan sistem kerja kontrak seumur hidup yang memaksa pekerja menerima klausul sepihak dari pengusaha dan pekerja tidak memiliki posisi tawar," kata Asfin saat dihubungi, Rabu (19/8/2020).

Baca juga: Kajian Amnesty Terkait RUU Cipta Kerja: Hilangnya Hak Cuti Berbayar hingga Turunnya Upah

Sebabnya, Pasal 59 dalam UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dihapus melalui RUU Cipta Kerja.

Pasal 59 mengatur ketentuan perpanjangan masa kontrak bagi pekerja.

Pasal tersebut menyatakan bahwa pekerja kontrak hanya dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

Setelah itu, bisa dilakukan pembaharuan sebanyak satu kali untuk jangka waktu paling lama dua tahun.

Sementara itu, pada Pasal 56 diubah bunyinya bahwa jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Baca juga: Pembentukan Tim Perumus RUU Cipta Kerja, KASBI Nilai Hanya untuk Tutupi Kekeliruan

Aturan tentang perjanjian kerja ini dinilai berpotensi merugikan pekerja karena relasi kuasa yang timpang dalam pembuatan kesepakatan.

Asfin menyebut, RUU Cipta Kerja justru makin melegitimasi ketidakpastian terhadap hak-hak pekerja.

"Dalam praktik sebelum RUU Cipta Kerja saja, banyak pengusaha yang terus membuat kontrak setiap tahun kepada pekerjanya. Padahal pekerja tersebut sudah bekerja selama 10 tahun lebih, di mana hal tersebut bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan," tutur dia.

"Hal ini mengakibatkan ketidakpastian bagi para pekerja dan ketidakpastian tersebut akan dilegitimasi oleh RUU Cipta Kerja," lanjut Asfin.

Baca juga: KSPI: 2 Hari Tak Cukup Bahas Klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja

Berikutnya, Asfin juga menyoroti soal pemberian uang penggantian hak (UPH) ketika terjadi pemutusan hubungan kerja.

Melalui pengubahan Pasal 156 Ayat (4), UPH tidak wajib diberikan perusahaan kepada pekerja.

Ayat tersebut berbunyi, pengusaha dapat memberikan penggantian hak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

 

Pengusaha hanya wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Atur Libur Hanya Sehari Per Pekan, Kelompok Buruh: Mirip Perbudakan

Hal ini berbeda dengan Pasal 156 Ayat (1) di UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, jika terjadi pemutusan hubungan kerja pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

"Jika sebelumnya berbasis kewajiban, dalam RUU Cipta Kerja uang tersebut tergantung pada kemurahan hati pengusaha. Dan ruang lingkup UPH juga dihapuskan dan diganti dengan hak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama," papar Asfin.

Penghitungan Upah Penghargaan Masa Kerja (UPMK) pun mengalami perubahan. Hal ini tertuang dalam Pasal 156 Ayat (3).

RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan UPMK bagi pekerja dengan masa kerja 24 tahun atau lebih yang semula mendapatkan 10 bulan upah menjadi hanya 8 bulan upah.

 

"Jika pada UU 13/2003 dengan masa kerja 24 tahun atau lebih mendapatkan 10 bulan upah, RUU Cipta Kerja mengubahnya menjadi hanya 8 bulan upah saja," tuturnya.

Baca juga: Catatan KoDe Inisiatif soal Penghapusan Sejumlah Hak Pekerja dalam RUU Cipta Kerja

Namun, Asfin pun mengatakan persoalan dalam RUU Cipta Kerja tidak hanya terletak pada klaster ketenagakerjaan.

Klaster lainnya yang dibahas dalam RUU Cipta Kerja di antaranya, klaster pengadaan lahan, klaster persyaratan investasi, dan klaser penyederhanaan perizinan berusaha.

"Kalaupun ini (klaster ketenagakerjaan) diubah, hidup mereka (masyarakat) akan sengsara oleh pasal-pasal di klaster lain," kata Asfin.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke