JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Riset Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menyoroti penghapusan sejumlah hak pekerja dalam draf omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
Ketentuan dalam RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal ini mengatur bahwa pekerja dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja jika perusahaan tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut.
Baca juga: 4 Ancaman bagi Pekerja Kantoran jika RUU Cipta Kerja Disahkan...
"Berdasarkan rumusan RUU Cipta Kerja sekarang menghapuskan hak para buruh untuk dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja jika pengusaha tidak membayarkan upah," kata Koordinator Bidang Konstitusi dan Ekonomi KoDe Inisiatif Rahmah Mutiara, saat dihubungi, Rabu (19/8/2020).
Rahmah menjelaskan, penghapusan pasal tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 58/PUU-IX/2011.
Putusan MK memperkuat hak pekerja untuk mengajukan PHK jika tidak menerima gaji selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, meski pengusaha membayar gaji secara tepat waktu sesudah itu.
Baca juga: KASBI Sebut RUU Cipta Kerja Akan Jadi Beban Generasi jika Berhasil Disahkan
Selanjutnya, Kode Inisiatif mencatat penghapusan Pasal 90 Ayat (2) dalam RUU Cipta Kerja. Pasal tersebut mengatur soal kewajiban perusahaan membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku kepada pekerja pada waktu diberikan penangguhan.
Rahmah menyebut penghapusan pasal itu melanggar putusan MK 72/PUU-XIII/2015.
Kemudian, ada juga pelanggaran putusan MK 27/PUU-IX/2011 yang membatalkan Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan terkait sistem outsourcing atau alih daya.
Pasal mengenai sistem outsourcing ini dihidupkan kembali dalam RUU Cipta Kerja.
Baca juga: Nasib Karyawan Outsourcing di RUU Omnibus Law
Menurut Rahmah, dengan dihidupkannya lagi Pasal 66, perjanjian kerja tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja.
"Dengan menghidupkan kembali pasal yang sudah dibatalkan, maka draf RUU Cipta Kerja ini jelas tidak memberikan perlindungan secara rinci atas hak-hak pekerja outsourcing, yang jelas sudah diperintahkan oleh MK," kata Rahmah.
"Padahal seharusnya rumusan ini dapat diperjelas dengan memperhatikan penekanan MK dalam putusannya," tutur dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.