JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menilai, politik identitas di Pilkada pada 2017 berdampak besar dan sangat berbahaya.
Akibat politik identitas yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017 misalnya, hingga saat ini dampaknya masih dirasakan masyarakat luas. Keterbelahan publik pun masih belum dapat dihilangkan.
"Tidak selesai setelah gubernur ditetapkan di DKI Jakarta, sampai sekarang hampir belum bisa sembuh luka akibat politik identitas yang begitu marak dalam Pilkada DKI Jakarta," kata Ray dalam sebuah diskusi daring yang digelar Kamis (13/8/2020).
Baca juga: Wakapolri Ingatkan Masyarakat agar Tak Terjebak Politik Identitas
Ray menilai, bahaya politik identitas bahkan melebihi bahaya politik uang. Sebab, jika politik uang bersifat temporal, politik identitas dampaknya menyebar dan berkepanjangan.
Praktik politik uang juga tidak pernah berakibat pada kekerasan. Sebaliknya, politik identitas rawan bersinggungan dengan kekerasan.
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dari kepala daerah yang lahir dari kontestasi politik bernuansa politik identitas pun dianggap sulit sembuhkan keterbelahan masyarakat.
"Seperti yang dijalani Anies Baswedan di DKI Jakarta, betapa dia mengakui bahwa semua produk aturan yang dikeluarkan oleh beliau tidak ada yang bernuansa intoleransi tetapi tidak semerta-merta itu bisa menyembuhkan luka akibat dari politik identitas yang begitu marak terjadi di dalam pelaksanaan Pilkada DKI 2017," ujar Ray.
Baca juga: Presiden Jokowi Bicara Politik Identitas di Hadapan Parlemen Australia
Melihat fenomena ini, Ray mendorong Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk lebih agresif dalam melakukan pencegahan.
Sebab, menurut dia, partai politik yang menjadi pengusung ataupun pendukung calon kepala daerah tak punya keseriusan untuk menyelesaikan persoalan politik identitas di pilkada.
Ray mengatakan, partai hanya peduli pada isu politik identitas selama hal itu merugikan mereka.
Namun, sebaliknya, jika isu politik identitas itu cemderung menguntungkan, partai justru memanfaatkannya untuk meraup keuntungan.
"Ini kejadian di DKI Jakarta, mereka merasa korban dari politik identitas sehingga mereka teriak-teriak. Sehingga politik identitas itu ditinggalkan, tetapi di tempat yang lain mereka salah satu penggunanya, itulah yang kita lihat secara umum kepada partai-partai," tutur Ray.
Baca juga: 3 Tantangan Jelang Pilkada: Tata Kelola, Bahaya Medsos, hingga Politik Identitas