"Dari tahun 1700 ada interval kelihatan paling tidak 50 tahun sekali atau 11 tahun sekali, kita ketemu pandemi flu," kata Arie.
Ia mencontohkan, pandemi flu yang terjadi pada tahun 1957-1968, termasuk pada tahun 1918 yang paling luar biasa karena menewaskan puluhan juta orang.
Kemudian, kata dia, terjadi lagi dalam 41 tahun di interval waktu tersebut, yakni antara 1968-2009 hingga 11 tahun kemudian, yakni tahun 2020 terjadi lagi pandemi Covid-19 yang saat ini berlangsung.
Namun, dalam rentang waktu 11 tahun tersebut, sebenarnya juga terjadi pandemi-pandemi lain, seperti Ebola di Afrika pada tahun 2014 dan MERS-CoV di Arab Saudi pada 2012.
Baca juga: Satgas Covid-19: Ada Rentang Waktu, Pandemi Flu Terjadi 11-50 Tahun Sekali
Pengulangan pandemi ini pula, kata Arie, yang menyebabkan sulit untuk menemukan kelompok orang yang berkonspirasi menyebarkan virus-virus penyebab pandemi.
"Jadi sebenarnya pandemi itu berulang. Ini yang agak sulit mencari atau menemukan orang yang konsisten dari tahun 1700 sampai 2020 melakukan konspirasi, menaruh virus di mana-mana di seluruh dunia. Arsip kita tidak menangkap ada satu aktor atau satu kelompok, semuanya sporadis," ujar Arie.
Kemunculannya pun bisa terjadi di mana saja, seperti di Mesir, Yunani, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan di bagian dunia lainnya.
Arie mengatakan, harus ada sanksi tegas kepada masyarakat yang melanggar peraturan pencegahan penyakit saat pandemi terjadi.
Menurut Arie, pernyataan ini juga berkaca dari sejarah, yaitu pandemi flu yang terjadi pada 1918. Wabah flu tersebut juga menyebar di Indonesia yang kala itu bernama Hindia Belanda.
Adanya sanksi, kata dia, sebagai salah satu cara agar korban pandemi tidak berjatuhan semakin banyak.
Saat itu, Arie mengatakan, Komisi Antiflu di Hindia-Belanda dibentuk untuk menangani pandemi flu.
Setidaknya ada sejumlah kebijakan tegas yang dikeluarkan.
"Pertama mengatur karantina, sosialisasi dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat (tentang pandemi), peraturan, dan sanksi," kata Arie.
Dia melanjutkan, pemerintah saat itu setelah melakukan rekayasa keluar masuk orang, kemudian melakukan edukasi.
"Masyarakat diedukasi, perlu ada sanksi baik kepada petugas ataupun masyarakat yang melanggar. Kan sudah dikasih tahu jaga jarak, stay home, pakai masker, dan kalau sakit harus berobat," ucap Arie.