JAKARTA, KOMPAS.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan uji materi ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Perludem menilai, penentuan angka ambang batas parlemen selama ini tak didasarkan pada perhitungan yang terbuka dan proporsional.
Padahal, sebagai negara yang menerapkan sistem pemilu proporsional di pemilu legislatif, sudah sepatutnya asas proporsionalitas terpenuhi dengan baik.
"Dalam praktik selama ini, penentuan angka ambang batas parlemen dalam Undang-undang Pemilu tidak pernah didasarkan pada basis perhitungan yang transparan, terbuka, dan sesuai dengan prinsp pemilu proporsional," kata Peneliti Fadli Ramadhanil melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (25/6/2020).
Baca juga: Wacana Revisi Parliamentary Threshold di Tengah Elektabilitas Parpol yang Merosot
Ambang batas parlemen merupakan syarat minimal perolehan suara yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mendapatkan kursi legislatif.
Setiap pemilu, ambang batas parlemen cenderung meningkat tanpa akuntabilitas metode penentuan yang rasional.
Pada Pemilu 2009 besaran ambang batas parlemen adalah 2,5 persen, kemudian 3,5 persen di Pemilu 2014, dan 4 persen pada Pemilu 2019.
Setiap partai politik yang ingin mendapatkan kursi DPR harus memperoleh suara sah nasional sebesar persentase ambang batas parlemen yang berlaku.
Baca juga: Ini Tiga Opsi Parliamentary Threshold yang Sedang Dibahas di DPR
Sedangkan bagi partai politik yang tidak memenuhi ambang batas tersebut tidak bisa diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi legislatif.
Akibatnya, suara yang terkumpul untuk partai politik tersebut terbuang begitu saja (wasted vote).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.