Perludem menilai, penentuan angka ambang batas parlemen selama ini tak didasarkan pada perhitungan yang terbuka dan proporsional.
Padahal, sebagai negara yang menerapkan sistem pemilu proporsional di pemilu legislatif, sudah sepatutnya asas proporsionalitas terpenuhi dengan baik.
"Dalam praktik selama ini, penentuan angka ambang batas parlemen dalam Undang-undang Pemilu tidak pernah didasarkan pada basis perhitungan yang transparan, terbuka, dan sesuai dengan prinsp pemilu proporsional," kata Peneliti Fadli Ramadhanil melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (25/6/2020).
Ambang batas parlemen merupakan syarat minimal perolehan suara yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mendapatkan kursi legislatif.
Setiap pemilu, ambang batas parlemen cenderung meningkat tanpa akuntabilitas metode penentuan yang rasional.
Pada Pemilu 2009 besaran ambang batas parlemen adalah 2,5 persen, kemudian 3,5 persen di Pemilu 2014, dan 4 persen pada Pemilu 2019.
Setiap partai politik yang ingin mendapatkan kursi DPR harus memperoleh suara sah nasional sebesar persentase ambang batas parlemen yang berlaku.
Sedangkan bagi partai politik yang tidak memenuhi ambang batas tersebut tidak bisa diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi legislatif.
Akibatnya, suara yang terkumpul untuk partai politik tersebut terbuang begitu saja (wasted vote).
Oleh karena dinilai tak proporsional, Perludem meminta MK menambahkan frasa tentang rumusan penentuan ambang batas parlemen di Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu.
Perludem meminta agar bunyi pasal tersebut diubah menjadi "Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara yang ditetapkan berdasarkan rumus
T= 75%/((M+1)*√E) atau T= 75%/((S/E)+1)*√E) atau T= 75%/((S+E)/E*√E), di mana T adalah ambang batas parlemen efektif, M adalah rata-rata besaran daerah pemilihan, S adalah jumlah kursi, dan E adalah jumlah daerah pemilihan, untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".
Dikonfirmasi secara terpisah, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyebut bahwa rumusan penentuan ambang batas parlemen yang menjadi petitum dalam gugatannya merupakan teori ambang batas optimal.
Teori itu dinilai efektif lantaran menurut Ahli Pemilu Rein Tageepara, terdapat tiga variabel utama dalam menghitung angka ambang batas parlemen, yakni rata-rata besaran daerah pemilihan (M), jumlah kursi parlemen (S), dan jumlah daerah pemilihan (E).
Adapun rata-rata besaran daerah pemilihan (M) didapat dari jumlah total kursi daerah pemilihan (dapil) yang terisi dibagi dengan jumlah total dapil.
Untuk diketahui, di Indonesia ada 80 dapil. Setiap dapil bisa diisi oleh 3 sampai 8 calon legislatif.
"Formula ini dianggap paling relevan karena mampu menjaga proporsionalitas hasil pemilu," ujar Titi kepada Kompas.com, Jumat (26/6/2020).
Titi mengungkap, jika pada empat pemilu DPR terakhir digunakan rumusan teori ambang batas optimal di atas, maka akan didapati bahwa ambang batas parlemen yang efektif untuk pemilu legislatif adalah 1 persen.
Oleh karenanya, menurut Titi, jika di pemilu legislatif selanjutnya tak ada perubahan rata-rata besaran daerah pemilihan (M), jumlah kursi parlemen (S), atau jumlah daerah pemilihan (E), maka angka 1 persen masih efektif untuk ditetapkan sebagai ambang batas parlemen.
"Besaran ambang batas ini mampu menyaring partai politik yang tidak mendapatkan dukungan signifikan dari pemilih untuk masuk DPR dan mengikuti pemilu berikutnya, sekaligus mampu menjaga hasil pemilu proporsional tetap proporsional," kata Titi.
https://nasional.kompas.com/read/2020/06/26/12321801/ambang-batas-parlemen-dinilai-tak-proporsional-dan-penentuannya-tak