Paradigma baru pasca pandemi adalah membebaskan diri dari sekat-sekat perbedaan itu. Tanpa kebersamaan, kita akan sulit menghadapi pandemi Covid-19.
Kedua, tumbuhkan disiplin nasional. Semua elemen bangsa, baik masyarakat maupun pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif) tak terkecuali.
Di negara demokrasi, memang biasa ada kesan acuh hingga perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Tetapi Korea Selatan adalah contoh negara demokrasi yang efektif menangani pandemi corona pada awal penyebaran.
Salah satu kuncinya adalah disiplin tinggi. Jalan-jalan sepi ketika pemerintah mendesak warganya untuk tinggal di rumah dan menjaga jarak sosial.
Berbagai even seperti konser K-Pop atau pertandingan olahraga dibatalkan. Hasilnya, dari 7.755 kasus di awal Maret, hanya ada 60 kasus kematian atau 0,77 persen di bawah rata-rata dunia yang 3,4 persen kala itu.
Dengan begitu, saya membayangkan, ke depannya bangsa Indonesia mendapatkan kekuatan kembali setelah digodok pandemi. Kita mesti belajar dari kasus black death ketika manusia kehilangan norma sosial.
Peradaban, menurut Sigerist, membutuhkan penanaman semua nilai-nilai spiritual yang membuat hidup benar-benar manusiawi sehingga sangat layak untuk dijalani.
Dalam Muqaddimah (1377), Ibnu Khaldun menuliskan bahwa manusia itu berperadaban dengan sifat (karakternya), yang membedakan dengan karakter hewaniah yang suka permusuhan dan kezaliman.
Bila mental-karakter telah menjadi pondasi maka kita dapat dengan mudah menolak keruntuhan peradaban (civilization collapse) yang menuju pada degradasi sumber daya, matinya kreativitas, lenyapnya kebudayaan, dan pembusukan kohesi sosial.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.