Henry Sigerist telah menunjukkan korelasi peradaban dan pandemi dalam "Civilization and Disease" yang diterbitkan pada tahun 1943, dan kemudian diterbitkan ulang pada 2018 dengan pengantar oleh Elizabeth Fee.
Sigerist mengetengahkan bahwa peradaban menjadi faktor dalam penyebaran penyakit. Pertanyaan sederhana bisa diajukan bagaimana kondisi suatu peradaban ketika penyakit mewabah.
Dalam kasus pandemi black death, apakah kehidupan Eropa tidak bersih dan jorok? Sebaliknya ketika peradaban maju, manusia menjadi mampu memerangi penyakit lebih efektif, dan pengobatan adalah senjata utamanya.
Sigerist juga menjelaskan mengenai efek penyakit pada aspek peradaban seperti ekonomi, kehidupan sosial, hukum, filsafat, agama, sains, dan seni. Di masa peradaban primitif, manusia bergantung pada alam secara langsung.
Namun, peradaban terus berkembang. Dari peradaban pengumpul, kemudian manusia memiliki kekuasaan atas alam, sampai tahap produksi.
Mengolah tanah, memelihara hewan, membangun jalan melalui hutan dan mengairi padang tandus, adalah pergerakan peradaban. Kedokteran, atau seni melestarikan dan memulihkan kesehatan, adalah salah satu aspek peradaban.
Manusia berperadaban adalah belajar mengarahkan dan memberdayakan kekuatan yang dimiliki agar kehidupan lebih aman.
Hal ini menunjukkan pandemi dan peradaban bisa saling memengaruhi. Saat ini pandemi Covid-19 yang menghantui penduduk dunia, sampai pada taraf mengubah cara dan gaya hidup manusia.
Kita sekarang bersiap memasuki kehidupan normal baru (new normal) sebagai bentuk adaptasi setelah tiga bulan nyaris berhenti beraktivitas. New normal bukan lantas sekadar praktik aktivitas sehari-hari yang mekanis, tetapi justru menjadi paradigma baru berpikir di masa pandemi.
Tanpa paradigma berpikir yang baru, new normal akan sulit diterapkan. Kita rata-rata sudah paham dengan petunjuk teknis new normal sesuai protokol kesehatan, semisal cuci tangan dan hidup bersih, jaga jarak fisik, penggunaan masker, hindari kerumunan, optimalisasi teknologi digital, dan sebagainya.
Semua itu akan tidak konsisten ketika paradigma berpikir belum terbentuk. Artinya komitmen untuk menjalani kehidupan new normal harus dapat membangun peradaban baru.
Cara hidup new normal bukan cuma formalitas (karena aturan protokol), tetapi harus menjadi suatu karakter atau watak. Bila cara hidup itu sudah menjadi karakter, maka secara masif akan membentuk sebuah kultur. Dengan sendirinya terbentuklah peradaban baru.
Lalu bagaimana peradaban kita pascapandemi Covid-19? Ada beberapa energi positif yang meruak selama pandemi.
Pertama, kesadaran kolektif untuk bergerak bersama. Pandemi memberi kesadaran bahwa kebersamaan menjadi kunci dalam melawan virus corona.
Selama ini, setidaknya dalam satu dekade, kita terjebak dalam kehidupan yang tersekat-sekat. Perbedaan politik yang menjerumuskan publik ke ruang polarisasi ekstrem merupakan titik kritis bangsa kita.