JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas Perempuan periode 1998-2006 Ita Fatia Nadia mengatakan, banyak hal yang sering dilupakan dalam peristiwa kerusuhan pada Mei 1998.
Salah satunya, kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi 22 tahun silam.
"Jadi memang penembakan di Trisakti ya. Tetapi ada peristiwa penjarahan yang luar biasa, dan peristiwa penjarahan diikuti dengan peristiwa penganiayaan, pemerkosaan dan pembunuhan," kata Ita dalam konferensi pers bersama Amnesty International Indonesia, Rabu (20/5/2020).
"Kasus ini tidak pernah disinggung oleh aktivis saat ini, apalagi oleh DPR," lanjut dia.
Baca juga: Wagub Djarot: Kasus Kekerasan Seksual Tragedi Mei 1998 Sulit Terungkap
Ita menuturkan, pada tahun 1998, ia tergabung dalam yayasan perlindungan kekerasan terhadap perempuan Kalyanamitra.
Kala itu ia banyak menerima laporan kasus pemerkosaan terhadap perempuan.
Semua itu, kata Ita, bermula pada 12 Mei 1998, ketika ia bersama rekannya baru pulang dari pemakaman mahasiswa Universitas Trisakti yang menjadi korban penembakan.
Sekitar pukul 15.00 WIB, Ita mengaku mendapat telepon berupa laporan adanya pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa di sebuah apartemen di Jakarta Utara.
"Pukul 17.00 WIB kami mendapat telepon lagi, ada perkosaan di Jembatan 2, Jembatan 3, dan Jembatan 4. Kemudian telepon lagi ada perkosaan di Glodok," ujarnya.
Baca juga: Mengingat Kerusuhan Mei 1998, Bagaimana Kronologinya?
Ita beserta rekannya sempat bingung bagaimana cara mengatasi banyaknya pelaporan pada hari itu.
Hingga akhirnya mereka memutuskan membagi tugas untuk datang ke lokasi kasus yang dilaporkan.
Ita mendapat tugas untuk datang ke lokasi kasus pemerkosaan di Glodok.
Ketika sampai ke kediaman korban, ia mengaku kaget melihat kondisi korban yang ternyata adalah kakak beradik.
"Kami sering mendampingi kasus-kasus perkosaan, tapi itu perkosaan yang di luar nalar saya sebagai manusia. Karena vaginanya dihancurkan bukan perkosaan dengan menggunakan alat kelamin laki-laki tetapi menggunakan alat," ungkap Ita.
Baca juga: Pemerintah Dituntut Selidiki Pemerkosaan Massal Mei 1998
Korban tersebut langsung dibawa oleh Ita ke Rumah Sakit Carolus, Jakarta, untuk mendapat perawatan intensif.
Keesokan harinya,13 Mei 1998, Ita kembali mendapat laporan kasus pemerkosaan.
Ita bersama rekannya berinisiatif membentuk Tim Relawan Kemanusiaan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan (TRKP) untuk merespons banyaknya laporan.
Menurut Ita, setelah ditotal ada sekitar 53 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998.
"Dan itu terjadi di Jakarta, di Palembang satu (kasus), Medan satu (kasus), di Solo dan Surabaya," tuturnya.
Respons Wiranto dan Sintong Panjaitan
Ita mengaku telah membawa kasus kekerasan tersebut ke Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan mendapat respons yang cukup baik.
Namun, ia heran mengapa banyak pihak di Indonesia yang justru mengingkari kejadian tersebut.
Salah satunya, terjadi saat ia beserta anggota Komnas Perempuan datang memenuhi undangan Presiden BJ Habibie untuk memberi testimoni di Gedung Bina Graha.
Baca juga: Komnas Perempuan: Tragedi Mei 1998 Harus Jadi Peringatan Penting
Kata Ita, Habibie percaya dengan testimoninya tentang kasus pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998.
Tetapi, Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI dan Sintong Panjaitan yang menjabat sebagai Penasihat Militer Habibie, menyebut Ita sebagai pembohong.
"Saya waktu itu menatap mata dua orang jenderal, Sintong Panjaitan dan Pak Wirantp. (Saya) bilang, saya tidak berbohong dan yang melakukan ini adalah anak buah Bapak. Militer," tuturnya.
"Dan saya berani bertanggungjawab untuk pertaruhkan nyawa saya, bertanggungjawab untuk masuk penjara," tandas Ita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.