Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini 5 Alasan RUU Cipta Kerja Digugat ke PTUN

Kompas.com - 03/05/2020, 17:22 WIB
Dani Prabowo,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Presiden Joko Widodo untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Gugatan yang dilayangkan pada 30 April lalu itu dilakukan lantaran Presiden dan DPR dinilai telah mengabaikan suara dan kepentingan masyarakat.

Sebab, meski banyak ditolak, namun pemerintah tetap melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja bersama DPR.

"Ada lima alasan kenapa gugatan ini dilayangkan," kata Koordinator Tim Advokasi untuk Demokrasi Arif Maulana melalui keterangan tertulis, Minggu (3/5/2020).

Baca juga: RUU Cipta Kerja Digugat ke PTUN Jakarta

Pertama, penyusunan RUU ini dinilai menyalahi prosedur yang diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Mulai dari proses perencanaan hingga penyusunan, pemerintah selaku pengusul RUU ini, tidak menjalankan prinsip transparansi dan partisipasi.

Pemerintah justru dinilai telah mendiskriminasi masyarakat dengan hanya melibatkan kelompok pengusaha dalam penyusunannya.

"Prosedur itu tahapan pembentukan perundang-undangan itu tidak diikuti pemerintah, bahkan susbtansinya banyak menabrak konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi," kata dia.

Baca juga: Polemik RUU Cipta Kerja: Nasib Pekerja di Tangan Penguasa dan Pengusaha

Adapun putusan MK yang ditabrak antara lain menghidupkan kembali sejumlah pasal yang telah dibatalkan oleh MK, hanya menindaklanjuti sebagian tafsir putusan MK, serta tidak menindaklanjuti tafsir konstitusional dari putusan MK.

Kedua, RUU ini dinilai hanya dibuat untuk kepentingan investasi semata dan tidak memperhatikan aspek keberlangsungan kondisi lingkungan.

Sehingga, ketika RUU Cipta Kerja disahkan nantinya, potensi terjadinya kerusakan lingkungan hidup dikhawatirkan kian besar.

Selain itu, hak-hak masyarakat di berbagai sektor juga berpotensi dirampas, seperti buruh, petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, hingga media.

Ketiga, menurut Arif Maulana, RUU dikhawatirkan akan semakin melanggengkan kepentingan oligarki.

Baca juga: Buruh Minta Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dibatalkan, Bukan Ditunda

Sejurus dengan hal itu, penyusunan RUU ini juga dianggap melanggar prinsip negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia.

Pasalnya, berbagai pasal dalam RUU Cipta Kerja disusun secara sistematis untuk membatalkan berbagai peraturan sebelumnya yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat dengan deregulasi aturan berupa penurunan standar bagi pengusaha dengan cara melawan hukum.

"Kelima, gugatan ini adalah bentuk partisipasi aktif warga untuk kepentingan perlindungan HAM dan kelestarian lingkungan hidup sebagaimana dijamin dalam Pasal 17 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 92 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," ujar Arif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com