JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang hendak memadukan darurat sipil dengan darurat kesehatan masyarakat dalam bentuk pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih saja menuai polemik.
Menanggapi hal itu, Pelaksana Tugas Deputi IV Kantor Staf Presiden Bidang Komunikasi Politik Juri Ardiantoro menyatakan, sedianya sejak awal Presiden Joko Widodo tidak hendak memberlakukan kebijakan darurat sipil dalam memutus mata rantai penularan virus corona.
Oleh karena itu, status darurat sipil hanya menjadi pilihan terakhir dan baru diterapkan ketika terjadi kekacauan dan pembangkangan publik secara masif saat pelaksanaan PSBB.
Hal itu disampaikan Juri menanggapi pernyataan Jokowi yang hendak memberlakukan darurat sipil untuk menyokong kebijakan PSBB.
"Kalau akibat dari proses ini terjadi pembangkangan, kekacauan, protes, membuat stabilitas sosial menjadi berantakan, maka pilihan penegakan daruat sipil ini menjadi dipikirkan meskipun ini menjadi pertimbangan yang sangat terakhir," kata Juri dalam diskusi bertajuk "Istana Bicara Darurat Sipil" di akun YouTube Medcom.id, Minggu (5/4/2020).
Baca juga: Istana Sebut Darurat Sipil Diberlakukan jika Ada Kekacauan saat PSBB Diterapkan
Dengan demikian, Juri mengatakan bahwa perkataan Jokowi soal darurat sipil saat mengumumkan pemberlakuan PSBB merupakan upaya mengimbau secara tegas kepada publik.
Setelah Presiden menyertakan pilihan darurat sipil sebagai yang paling akhir, menurut Juri, maka masyarakat akan mematuhi kebijakan PSBB sehingga penyebaran wabah Covid-19 bisa terhenti.
"Presiden ini sebenarnya hanya me-warning begitu seriusnya penyebaran wabah ini, sehingga tindakan tegas kepada yang tak mengindahkan imbauan pembatasan ini, pemerintah dan pemda bisa melakukan tindakan-tindakan," tutur Juri.
Baca juga: Mahfud Tegaskan Pemerintah Tak Berencana Terapkan Darurat Sipil
Namun, pengamat hukum tata negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menyatakan, penerapan darurat sipil tak bisa dilaksanakan di tengah status darurat kesehatan masyarakat.
Hal itu disampaikan Bayu menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo yang hendak memberlakukan darurat sipil untuk menyokong kebijakan PSBB.
"Dalam konteks ketatanegaraan tidak dimungkinkan (menerapkan darurat sipil dan kesehatan sekaligus)," ujar Bayu dalam diskusi yang sama.
"Kita harus pilih ini, darurat sipil atau darurat kesehatan masyarakat. Itu harus salah satu, konsepnya beda," kata dia.
Baca juga: Pengamat Sebut Darurat Sipil Tak Bisa Diterapkan saat Darurat Kesehatan
Bayu mengatakan, masing-masing kedaruratan berdasarkan undang-undangnya juga telah mengatur sanksi bagi para pelanggarnya.
Karena itu, menurut dia, Presiden tak perlu menggabungkan darurat sipil dengan darurat kesehatan masyarakat dalam menghadapi wabah Covid-19.
Baca juga: Jokowi Tetapkan Status Darurat Kesehatan Masyarakat
Sebab, dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juga telah diatur sanksi pidananya.
Ia pun meminta Presiden tak merespons berlebihan dengan status darurat sipil jika selama pelaksanaan PSBB terjadi kekacauan dan pembangkangan masal sebab UU Kekarantinaan Kesehatan telah mengatur sanksi jika terjadi kedua hal tersebut, tepatnya pada Pasal 93.
"Problem-nya, hari ini kenapa penegakan hukum belum berjalan karena PSBB masih bersifat imbauan," kata Bayu.
Baca juga: Pengamat: Kebijakan PSBB Belum Tegas, Tak Efektif Atasi Covid-19
Bayu mengatakan, hingga saat ini PSBB sedianya belum terlaksana sama sekali. PSBB baru terlaksana ketika ada pemda yang mengajukannya ke Menteri Kesehatan selaku pemberi izin.
Namun, hingga kini belum ada satu pun pemda yang diberikan izin pemberlakuan PSBB di daerahnya oleh Menteri Kesehatan. Dengan demikian, menurut Bayu PSBB saat ini masih sekadar imbauan sehingga wajar bila tidak efektif.
"Belum ada satu daerah pun secara resmi mengatakan kami menetapkan di wilayah kami PSBB. Sehingga pasal 93 dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 bisa kita gunakan baik (sanksi) kurungan maupun berupa denda," ujar Bayu.
"Artinya apa? Kalau sekarang belum dianggap efektif dalam konteks penegakan PSBB itu ya karena memang deklarasi PSBB itu belum ada. Imbauan kan enggak bisa dipidana," tuturnya.
Baca juga: Kemendagri Minta Pemda Tak Blokir Jalan dalam Terapkan PSBB
Hal senada disampaikan pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah. Alih-alih memberlakukan darurat sipil, ia pun meminta pemerintah menjamin program yang telah dicanangkan untuk mengatasi Covid-19 berjalan dengan baik.
Trubus pun meminta pemerintah memastikan anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun.
"Pemerintah sudah menganggarkan Rp 405,1 triliun untuk Covid-19. Itu harus dipastikan benar-benar tersalurkan kepada masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah dan pekerja sektor informal karena mereka yang paling terdampak," kata Trubus.
Baca juga: Imbas Corona, 463.000 Warga Miskin Kalbar Terima Bantuan 20 Kg Beras
Ke depan, ia meminta pemerintah membuat kebijakan penanganan wabah secara lebih komprehensif dengan melakukan pemetaan wilayah terlebih dahulu.
Dengan adanya pemetaan wilayah yang menjelaskan status kegawatdaruratan atas terjangkitnya wabah, Trubus menilai pemda akan lebih mudah membantu pemerintah pusat dalam memutus mata rantai penularan wabah.
"Harusnya sebelum dibuat aturan PSBB, pemerintah lebih dulu memetakan mana daerah yang sudah merah (parah), kuning (sedang), atau hijau (aman), sehingga daerah tidak bingung menentukan sikap," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.