JAKARTA, KOMPAS.com - Target 100 hari dari Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja disebut bukan harga mati.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, target 100 hari itu mulanya ditentukan Jokowi karena dianggap sebagai waktu ideal. Namun, Jokowi juga meminta agar aspirasi publik tidak dipinggirkan.
"Itu juga bukan harga mati gitu. Yang penting ini dibahas, ruang konsultasi publiknya silakan dibuka," kata Arsul di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/3/2020).
Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Serikat Pekerja Ancam Mogok Kerja Nasional
Menurutnya, Jokowi tidak hanya mendorong DPR yang menampung aspirasi masyarakat.
Arsul mengatakan Jokowi juga meminta tim pemerintah membuka ruang konsultasi publik.
"Pak Jokowi juga menekankan itu semuanya paralel. Tidak hanya DPR saja, tapi juga tim pemerintah. Seperti RDPU lah," tuturnya.
Wakil Ketua MPR itu mengatakan Jokowi memahami berbagai penolakan publik terhadap RUU Cipta Kerja.
Jokowi, lanjut Arsul, melihat penolakan besar diarahkan pada klaster ketenagakerjaan dan perizinan yang berkaitan dengan lingkungan.
"Kesan saya dia mengetahui ada resistansi dari elemen masyarakat terhadap RUU Cipta Kerja. Kami juga memahami bahwa resistensi paling besar ada pada klaster ketenagakerjaan. Kemudian kritik terhadap hal perizinan, khususnya subklaster terkait lingkungan. Itu beliau terangkan semua," ujarnya.
RUU Cipta Kerja mendapat penolakan dari sejumlah kalangan bahkan sebelum RUU tersebut dibahas. Pemerintah sudah menyerahkan draf dan surat presiden RUU Cipta Kerja ke DPR, Rabu (12/2/2012).
Penolakan datang khususnya dari para pekerja, didukung pandangan pengamat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Mereka menilai RUU Cipta Kerja mengenyampingkan kepentingan buruh dan mengutamakan kepentingan pengusaha atau pemilik modal.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, omnibus law RUU Cipta Kerja hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi.
Menurut Charles, tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut.
Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Singgung Dukungan ke Jokowi saat Pilpres
"Ketika kita melihat bagian penjelasannya sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan. Jadi hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan," kata Charles di Jakarta, Kamis (5/3/2020).
Ia menilai, kemudahan dalam aspek ekonomi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja diberikan kepada pengusaha atau pemilik modal. Sementara kepentingan masyarakat justru terpinggirkan.
"Kemudahannya bukan bagi warga negara yang minim akses terhadap sumber daya alam atau sumber daya ekonomi. Kemudahan diberikan justru kepada pemilik modal, kepada asing, dalam rangka mengundang investor lebih banyak. Jadi bukan kita mudah mencari kerja," tutur dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.