JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati mengatakan, semangat sentralisasi dalam rangkaian aturan pada draf RUU omnibus law RUU Cipta Kerja berpotensi membuat Presiden seolah bekerja melayani kepentingan korporasi.
"Ini kan (semangatnya) memang sentralisasi oleh pemerintah dan utamanya Presiden. Seolah-olah (Presiden) ini menjadi sumber hukumnya," ujar Nur usai mengisi diskusi di bilangan Senayan, Jakarta, Sabtu (22/2/2020).
Sehingga, tindakan pemerintah ini sudah menyerupai tindakan persekutuan dagang Belanda (VOC) di masa lalu.
"Ini sebenarnya sudah menyerupai apa VOC itu sendiri, untuk kemudian semua itu harus di tangan satu pihak dan melayani korporasi. Memang semangatnya itu," tegas Nur.
Baca juga: Soroti Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Walhi: Kedudukan Korporasi Bisa seperti VOC
Sehingga menurut dia, pemerintah seolah-olah berkamuflase dengan nama RUU Cipta Kerja.
Nama ini, kata Nur, seakan bisa diartikan pemerintah pro masyarakat.
"Makanya kami bilang kalau memang mau RUU ini untuk memudahkan investasi, ya disebut saja RUU untuk memudahkan investasi, " katanya.
"Jangan kemudian seolah-olah ingin menciptakan lapangan kerja, seolah berpihak kepada rakyat, padahal sebenarnya isinya hanya mengakomodir kepentingan pebisnis besar," tambah Nur.
Baca juga: Sejarah Berdirinya VOC
Sebelumnya, Kepala Departemen Advokasi Walhi Zenzi Suhadi mengatakan, draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja berpotensi menempatkan korporasi sebagaimana persekutuan dagang Belanda (VOC) pada masa kolonial.
Walhi menilai ada potensi negara melayani korporasi dan mengesampingkan masyarakat.
"Kami lihat posisi korporasi Indonesia ke depan itu seperti (zaman) VOC, yakni soal haknya terhadap sumber daya alam, bagaimana rakyat diisolasi untuk tidak punya hak, dan negara berperan melayani VOC," ujar Zenzi dalam konferensi pers di Kantor Walhi, Jakarta Selatan, Kamis (20/2/2020).
Baca juga: Sejarah Singkat Lahirnya VOC
Ke depannya, Walhi berencana mencermati kembali sejarah pembentukan VOC sebelum masuk ke Indonesia.
"Kami mau periksa itu. Juga apa yang dibicarakan oleh para pembentuk VOC sebelum masuk ke Indonesia dalam merancang regulasi Hindia-Belanda," lanjutnya.
Zenzi kemudian memaparkan catatan Walhi atas hak korporasi yang diatur dalam draf RUU Cipta Kerja.
Pertama, draf RUU mengatur perihal penerbitan izin oleh pemerintah kepada korporasi tanpa mempertimbangkan lingkungan dan hak rakyat.
Kedua, pemerintah tidak bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang akan terjadi.
Baca juga: Freeport Disamakan dengan VOC pada Zaman Belanda
Ketiga, korporasi diberikan dua keistimewaan, yakni investasi dikedepankan proses pelayanannya dan ada berbahaya impunitas terhadap korporasi dalam konteks hukum.
"Jadi sebenarnya korporasi ini dibuat supaya terbebas dari jangkauan hukum. Hal ini jika merujuk perbandingan draf RUU Cipta Kerja dengan aturan di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)," ungkapnya.
Di UU PPLH, sanksi administratif itu baru diberikan kalau sudah diputuskan oleh pemerintah dan sudah masuk ke ranah pidana.
Sementara itu, dalam draf RUU Cipta Kerja, kalau sanksi administrasi belum terpenuhi oleh perusahaan maka belum bisa dipidana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.