"Akhirnya, laporan pansus kepada sidang paripurna DPR pada 9 Juli 2001 merekomendasikan untuk meneruskan (tragedi ini) ke pengadilan umum/militer yang telah dan sedang berjalan," tutur Arief.
Rekomendasi ini yang kemudian dikenal dengan "Rekomendasi DPR".
Menurut Arief, rekomendasi ini mengakibatkan kasus TSS dalam posisi menggantung.
"Rekomendasi ini juga yang selalu dijadikan alasan oleh Kejaksaan Agung untuk tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM," kata Arief.
Setelah adanya rekomendasi DPR itu, korban dan keluarga korban serta masyarakat peduli HAM kemudian beraudiensi dengan ketua DPR Akbar Tandjung pada 9 Juli 2003.
Akbar berjanji mengadakan rapat gabungan antara komisi yang membidangi masalah hukum, Kejaksaan Agung, dan Komnas HAM guna membicarakan rekomendasi DPR itu.
Namun, janji tersebut tidak pernah direalisasikan.
Baca juga: Adian Sakit Hati Tragedi Semanggi Disebut Bukan Pelanggaran HAM Berat
Arief mengatakan, setelah keanggotaan DPR berganti periode, komisi bidang hukum DPR dengan korban/keluarga korban, serta masyarakat peduli HAM bertemu awal Januari 2005.
Dalam pertemuan itu, anggota komisi hukum menyatakan bahwa seharusnya Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti hasil penyelidikan komnas HAM.
Menurut Komisi Hukum DPR periode 2004-2009, rekomendasi DPR pada 2001 itu bukan produk hukum dan tidak mengikat secara hukum.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya 30 Juni 2005, muncul kesepakatan seluruh fraksi dan komisi hukum yang menghendaki agar kasus TSS diungkap kembali.
Awalnya, ketua DPR Agung Laksono terkesan mendukung.
Dalam audiensi dengan korban serta masyarakat peduli HAM pada 14 September 2005, Agung Laksono menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut akan ditindaklanjuti melalui prosedur formal sesuai mekanisme yang berlaku.
Kesepakatan tersebut dibahas dalam Rapat Bamus DPR pada 22 September 2005.
Namun, korban dan keluarga korban kecewa karena dalam rapat Bamus 22 September 2005 itu, kasus TSS tidak masuk dalam agenda pembahasan.