Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pernyataan Jaksa Agung dan Rekomendasi DPR 2001 tentang Tragedi Semanggi

Kompas.com - 20/01/2020, 11:32 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin perihal tragedi Semanggi I dan Semanggi II beberapa waktu lalu memicu kritik keras dari sejumlah pihak.

Burhanuddin mengatakan, peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Dia merujuk kepada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyebut bahwa kedua peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.

Namun, saat mengutip hasil rapat itu, dia tidak menjelaskan secara rinci kapan rapat dilaksanakan.

Berdasarkan penelusuran Kompas.com, DPR periode 1999-2004 pernah merekomendasikan Peristiwa Semanggi I dan II tidak termasuk dalam kategori pelanggaran berat HAM.

Rekomendasi itu berbeda dengan hasil penyelidikan KPP HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan II yang menyatakan sebaliknya.

Sementara itu, berdasarkan tulisan berjudul "Wawan, Tragedi demi Tragedi" oleh Arief Priyadi dalam buku "Saatnya Korban Bicara, Menata Derap Merajut Langkah" pada 15 Januari 2001, DPR menerbitkan keputusan tentang pembentukan Pansus DPR mengenai kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi I (TSS).

Baca juga: Hari-Hari Terakhir Yun Hap, Mahasiswa UI Korban Tragedi Semanggi II

Adapun Arief Priyadi merupakan ayah dari Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, korban penembakan saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998.

Berdasarkan tulisan Arief, pansus tersebut beranggotakan 50 orang dari 10 Fraksi, dengan tugas memantau proses penyelesaian kasus Trisakti serta Kasus Semanggi I dan II. 

"Hasil kerja pansus adalah 'rekomendasi' yang kemudian dilaporkan kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Rekomendasi Ini dicapai melalui voting pada 27 Juni 2001," tulis Arief.

Menurut daftar hadir, anggota pansus yang hadir saat itu sebanyak 26 orang.

Akan tetapi, pada saat voting berlangsung, yang hadir hanya 19 orang.

Hasil votingnya, sebanyak 14 suara setuju merekomendasikan penyelesaian peristiwa TSS melalui peradilan umum/militer.

Alasannya, tragedi TSS dinilai bukan pelanggaran HAM berat.

Maria Katarina Sumarsih atau biasa disapa Sumarsih, orangtua Wawan, mahasiswa yang menjadi korban tragedi Semanggi I, saat aksi Kamisan ke-453 di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016). Dalam aksi itu mereka menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran hak asasi manusia di masa lalu dan mengkritisi pelantikan Wiranto sebagai Menko Polhukam karena dianggap bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia.KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Maria Katarina Sumarsih atau biasa disapa Sumarsih, orangtua Wawan, mahasiswa yang menjadi korban tragedi Semanggi I, saat aksi Kamisan ke-453 di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (4/8/2016). Dalam aksi itu mereka menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran hak asasi manusia di masa lalu dan mengkritisi pelantikan Wiranto sebagai Menko Polhukam karena dianggap bertanggung jawab atas sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Kemudian, ada lima suara setuju dengan rekomendasi kepada presiden untuk mengeluarkan keputusan presiden (keppres) tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

"Akhirnya, laporan pansus kepada sidang paripurna DPR pada 9 Juli 2001 merekomendasikan untuk meneruskan (tragedi ini) ke pengadilan umum/militer yang telah dan sedang berjalan," tutur Arief.

Rekomendasi ini yang kemudian dikenal dengan "Rekomendasi DPR".

Menurut Arief, rekomendasi ini mengakibatkan kasus TSS dalam posisi menggantung.

"Rekomendasi ini juga yang selalu dijadikan alasan oleh Kejaksaan Agung untuk tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM," kata Arief.

Setelah adanya rekomendasi DPR itu, korban dan keluarga korban serta masyarakat peduli HAM kemudian beraudiensi dengan ketua DPR Akbar Tandjung pada 9 Juli 2003.

Akbar berjanji mengadakan rapat gabungan antara komisi yang membidangi masalah hukum, Kejaksaan Agung, dan Komnas HAM guna membicarakan rekomendasi DPR itu.

Namun, janji tersebut tidak pernah direalisasikan.

Baca juga: Adian Sakit Hati Tragedi Semanggi Disebut Bukan Pelanggaran HAM Berat

Arief mengatakan, setelah keanggotaan DPR berganti periode, komisi bidang hukum DPR dengan korban/keluarga korban, serta masyarakat peduli HAM bertemu awal Januari 2005.

Dalam pertemuan itu, anggota komisi hukum menyatakan bahwa seharusnya Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti hasil penyelidikan komnas HAM.

Menurut Komisi Hukum DPR periode 2004-2009, rekomendasi DPR pada 2001 itu bukan produk hukum dan tidak mengikat secara hukum.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya 30 Juni 2005, muncul kesepakatan seluruh fraksi dan komisi hukum yang menghendaki agar kasus TSS diungkap kembali.

Keluarga Korban dan Mahasiswa Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta melakukan unjuk rasa di depan Istana presiden, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (14/11/2016). Mahasiswa Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta mendesak Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada Tragedi Semanggi I yang hingga kini belum tuntas.KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG Keluarga Korban dan Mahasiswa Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta melakukan unjuk rasa di depan Istana presiden, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (14/11/2016). Mahasiswa Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta mendesak Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada Tragedi Semanggi I yang hingga kini belum tuntas.

Awalnya, ketua DPR Agung Laksono terkesan mendukung.

Dalam audiensi dengan korban serta masyarakat peduli HAM pada 14 September 2005, Agung Laksono menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut akan ditindaklanjuti melalui prosedur formal sesuai mekanisme yang berlaku.

Kesepakatan tersebut dibahas dalam Rapat Bamus DPR pada 22 September 2005.

Namun, korban dan keluarga korban kecewa karena dalam rapat Bamus 22 September 2005 itu, kasus TSS tidak masuk dalam agenda pembahasan.

Selanjutnya, pada 7 Desember 2005, korban beraudiensi dengan Komisi Hukum DPR dan diterima oleh perwakilan dari 9 fraksi. Tidak ada wakil dari Fraksi Partai Golkar yang hadir.

Saat itu, Komisi Hukum DPR berjanji akan mendesak melalui sidang paripurna DPR agar kasus TSS dibuka kembali.

Baca juga: PPP Usulkan DPR Bentuk Pansus Tragedi Semanggi untuk Buka Hasil Paripurna 2001

Dalam rapat paripurna DPR pada 12 Januari 2006, Nursjahbani Katjasungkana (Fraksi PKB) dan Al Muzzamil Yusuf (Wakil Ketua Komisi Hukum) mengajukan interupsi.

Mereka meminta pimpinan DPR segera memproses rekomendasi Komisi Hukum yang sepakat membuka kembali kasus TSS.

Ketua DPR Agung Laksono yang merupakan pimpinan rapat paripurna DPR menerima dan menampung interupsi tersebut dan merekomendasikan agar mekanismenya dibahas dalam rapat Bamus DPR.

Persoalan rekomendasi DPR ini kembali mencuat setelah Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran berat HAM.

Hal ini disampaikan Burhanuddin, dalam rapat kerja dengan Komisi III pada pemaparan terkait perkembangan penanganan kasus HAM.

"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/1/2020).

Kendati demikian, Burhanuddin tak menyebutkan, kapan rapat paripurna DPR yang secara resmi menyatakan peristiwa Semanggi I dan II tak termasuk pelanggaran HAM berat.

Burhanuddin juga memaparkan hambatan dalam menyelesaikan kasus HAM, yakni belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc dan ketersediaan alat bukti yang tidak cukup.

"Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala, terkait kecukupan alat bukti," ujar dia. 

Adapun peristiwa Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 merupakan momen di mana mahasiswa menggelar demonstrasi terkait tuntutan reformasi.

Baca juga: Saat Jaksa Agung dan Komnas HAM Berseberangan soal Tragedi Semanggi...

Mahasiswa menggelar aksi penolakan terhadap Sidang Istimewa MPR/DPR mengenai pemerintahan transisi yang dipimpin BJ Habibie sehingga terjadi pertumpahan darah.

Sementara itu, Peristiwa Semanggi II terjadi pada 24 September 1999.

Saat itu, mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa untuk meminta pembatalan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) yang disahkan DPR dan pemerintah.

Ada beberapa poin dalam RUU PKB yang memunculkan kontroversial, salah satunya, jika disahkan, UU PKB akan menjadi pembenaran bagi TNI untuk melakukan operasi militer.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Kasus Dugaan Asusila Ketua KPU Jadi Prioritas DKPP, Sidang Digelar Bulan Ini

Nasional
Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com