JAKARTA, KOMPAS.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah.
Atas putusan tersebut, Perludem berharap Pilkada 2020 dapat menghadirkan calon yang bersih dan bebas dari rekam jejak korupsi.
Pasalnya, MK menyatakan bahwa seorang mantan narapidana hanya dapat mencalonkan diri di Pilkada, 5 tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani pidana penjara.
"Ke depan, kami berharap, Pilkada serentak 2020 di 270 daerah benar-benar bisa menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi sehingga bisa berkonsentrasi membangun daerah secara maksimal dengan perspektif pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik," kata Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil melalui keterangan tertulis, Rabu (11/12/2019).
Baca juga: Eks Koruptor Boleh Ikut Pilkada Usai 5 Tahun Keluar Bui, Simak Putusan MK Ini...
Pasca-putusan ini, Perludem berharap, ada langkah ekstra yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu, khususnya dalam mengatur teknis pelaksanaan pilkada.
Perludem mendesak KPU segera merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pilkada 2020.
Revisi ini harus segera dilakukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap mekanisme teknis pencalonan, khususnya bagi mantan terpidana yang akan menjadi calon.
"Selain itu, KPU perlu juga segera mensosialisasikan Peraturan KPU tersebut, yang sesuai dengan putusan MK," ujar dia.
Baca juga: DPR Segera Tindaklanjuti Putusan MK soal Eks Koruptor Maju Pilkada
Perludem mendorong KPU membuat pengaturan yang memungkinkan partai politik melakukan penggatian atas calon yang terkena OTT KPK dengan alasan calon tersebut berhalangan tetap.
Sebab, dengan ditangkap oleh KPK, calon tidak bisa melakukan kampanye. Dengan demikian, calon yang terkena OTT KPK itu tidak bisa lagi melakukan proses pencalonan secara permanen.
KPU juga didorong untuk menyampaikan informasi yang maksimal terkait rekam jejak calon, terutama calon yang memiliki masalah hukum.
Caranya dengan membuat pengaturan dalam PKPU tentang Kampanye serta Peraturan KPU tentang Pemungutan dan Penghitungan suara di TPS.
Baca juga: Perludem: Putusan MK Batasi Eks Koruptor di Pilkada Jadi Kado Hari Antikorupsi
Dalam PKPU Kampanye, kata Fadli, memungkinkan diatur supaya calon kepala daerah yang punya rekam jejak hukum memberikan informasi soal kasus hukumnya, dihukum atas perbuatan apa, dihukum berapa lama dan kapan bebas murni.
"Pencantuman ini dilakukan dalam setiap dokumen dari calon yang mantan napi, yang digunakan untuk kepentingan kampanye dan juga sosialisasi pilkada," ujar Fadli.
Selain itu, lanjut Fadli, di dalam ketentuan Peraturan KPU tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS juga perlu diatur tentang pengumuman soal status mantan napi di papan pengumuman masuk TPS yang memuat profil calon kepala daerah.
"Selama ini di setiap TPS selalu diumumkan profil calon yang berkontestasi di Pilkada, namun KPU belum pernah mengatur soal pengumuman di TPS ini baik di pemilu legislatif maupun pilkada," kata dia.
Baca juga: Pertimbangan MK Beri Jeda 5 Tahun untuk Eks Koruptor Bisa Maju Pilkada
Upaya ini dinilai penting supaya pemilih dapat memilih figur-figur yang baik sebagai calon kepala daerah.
Diberitakan, MK menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Perkara ini dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Hakim Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).
Oleh karena MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, bunyi pasal tersebut menjadi berubah. Setidaknya, ada empat hal yang diatur dalam pasal itu.
Baca juga: Eks Koruptor Boleh Maju Pilkada Setelah 5 Tahun, PKB: Kita Tetap Cari yang Bersih
Pertama, seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak pernah diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik.
Kedua, mantan narapidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah hanya apabila yang bersangkutan telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara.
Selanjutnya, seorang calon kepala daerah yang merupakan mantan narapidana harus mengumumkan latar belakang dirinya sebagai seorang mantan napi.
Terakhir, yang bersangkutan bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang.
Kenapa negara kita dalam mengatasi koruptor tidak terlalu tegas? Kenapa tidak berani seperti di negara maju, misalnya dihukum mati?
Pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang siswa SMK Negeri 57 Jakarta bernama Harley Hermansyah kepada Presiden Jokowi di Hari Antikorupsi Sedunia pada Senin (9/12/2019).
Pertanyaan Harley itu kembali membuka perdebatan klasik mengenai perlu atau tidaknya hukuman mati bagi koruptor. Presiden Jokowi sendiri awalnya tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Ia lalu menjelaskan bahwa undang-undang yang ada saat ini memang tidak mengatur hukuman mati bagi koruptor.
"Ya, kalau di undang-undangnya memang ada yang korupsi dihukum mati, itu akan dilakukan. Tapi di UU tidak ada yang korupsi dihukum mati," kata Jokowi.
Jokowi lalu bertanya ke Menteri Hukum dan HAM yang hadir pada acara tersebut. Yasonna menjelaskan bahwa aturan terkait ancaman hukuman mati saat ini hanya berlaku untuk pelaku korupsi terkait bencana alam. Aturan itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Selain korupsi dana bencana alam, hukuman mati juga bisa dikenakan pada korupsi pada saat negara krisis moneter atau kepada pelaku korupsi yang berulang kali melakukan perbuatannya. Kendati demikian, sampai saat ini belum ada koruptor yang sampai divonis mati oleh pengadilan.
"Yang sudah ada (aturannya) saja belum pernah diputuskan hukuman mati," lanjut Jokowi.
Presiden Jokowi kemudian menjelaskan bahwa saat ini pemerintah berupaya membangun sistem pencegahan terhadap praktik korupsi.
"Agar pejabat-pejabat yang ada itu tidak bisa melakukan korupsi, agar baik semua, agar pagarnya itu bisa menghilangkan korupsi yang ada di negara kita," ujar dia.
"Tapi apa pun semua butuh proses negara-negara lain juga butuh proses ini, bukan barang gampang," lanjut Jokowi.
Lalu pantaskah sebenarnya koruptor dihukum mati? Apakah hukuman mati untuk para koruptor efektif untuk mencegah praktik korupsi di indonesia? Apakah pemiskinan, pencabutan hak politik, hingga larangan menduduki jabatan strategis lebih menimbulkan efek jera?
Untuk membahasnya sudah hadir di studio, anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu dan Aktivis Antikorupsi Saor Siagian.
#KoruptorDihukumMati #PresidenJokowi