Hukuman mati bagi pencuri uang negara atau koruptor mencuat di sela-sela peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang dihadiri Presiden Joko Widodo. Hukuman mati bagi koruptor sebenarnya sudah diatur di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Wacana hukuman mati bagi koruptor kembali mencuat saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMK Negeri 57 Jakarta. Seusai menyaksikan pentas drama Prestasi tanpa Korupsi, Jokowi membuka sesi tanya jawab. Salah satu pertanyaan datang dari siswa bernama Harley Hermansyah. Harley bertanya kenapa hukuman bagi koruptor di Indonesia tidak seperti negara lain yang menerapkan hukuman maksimal, yakni hukuman mati. Jokowi menjawab, sebetulnya para koruptor bisa dijatuhi hukuman mati. Tapi, sejauh ini, pelaksanaannya belum ada. Dari tanya jawab dengan siswa, Jokowi kembali menjelaskan soal hukuman mati bagi koruptor saat ditanya wartawan. Menurutnya, hukuman mati bagi koruptor bisa diterapkan jika ada aspirasi kuat dari masyarakat dan DPR merevisi undang-undang.
Wacana hukuman mati bagi koruptor yang dijelaskan Jokowi dikritisi Indonesia Corruption Watch atau ICW. Menurut ICW, pernyataan Jokowi di SMK 57 Jakarta bertolak belakang dengan pemberian grasi bagi para koruptor baru-baru ini.
"Terkait pula dengan hukuman mati pada koruptor, koruptor itu tentu kita pilah ya hukuman mati itu ya koruptor yang merugikan negara triliunan itu sudah pantas dihukum mati," kata Adies.
Meski demikian, pernyataan kontra datang dari aktivis dan akademisi.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai, hukuman mati tak akan efektif untuk menimbulkan efek jera.
Ia mencontohkan negara-negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Nyatanya angka korupsi di sana masih tetap tinggi, salah satunya China.
Untuk itu, upaya yang berbentuk pencegahan dinilai lebih efektif untuk mengatasi korupsi.
"ICJR memandang bahwa pemberantasan korupsi akan jauh lebih efektif jika memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan dan penegakan hukum agar memiliki tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi," kata Anggara kepada Kompas.com, Selasa (10/12/2019).
Baca juga: Soal Hukuman Mati untuk Koruptor, Ini Kata Jaksa Agung ST Burhanuddin
Senada, pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti juga tidak menyetujui pemberlakuan hukuman mati.
Menurut dia, ada cara yang lebih efektif untuk menimbulkan rasa jera daripada sekadar diberi hukuman mati.
"Efek jera seharusnya bisa diberikan tanpa memberikan hukuman mati, tapi memberikan sanksi yang lebih baik, misalnya perampasan aset," kata dia.
Bivitri menilai, hukuman mengenai perampasan aset ini belum dilakukan dengan optimal.
"Misalnya (dihukum) tujuh tahun terus keluar dari penjara, keluarganya bisa aja masih menikmati (hasil korupsi), asetnya kan tersebar di mana-mana," ujar Bivitri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.