Selanjutnya 6,6 persen menyatakan sangat tidak mampu dan 48,9 persen menyatakan mampu.
Sementara untuk kasus kerusuhan Mei 1997, sebanyak 42,7 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu menyelesaikannya, 8 persen menilai sangat tidak mampu dan 46,8 persen menilai mampu.
Baca juga: Komnas HAM: Jaksa Agung Tak Paham Mekanisme Penuntasan Kasus HAM Berat
Hasil riset juga menunjukkan, nuansa politik menjadi salah satu hambatan terbesar pemerintahan Jokowi-Ma'ruf menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sebanyak 73,9 persen responden menyebutkan bahwa nuansa politik menjadi penghambat pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
Sisanya, ada 23,6 persen responden yang menyatakan bahwa Jokowi memang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya.
"Ini hampir sesuai dengan dugaan Komnas HAM bahwa hambatan politik dalam pelanggaran HAM berat, khususnya masa lalu selalu mewarnai," ujar Choirul.
Menurut Choirul, persoalan politik yang menghambat penyelesaian kasus HAM ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain.
"Makanya harus menjadi komitmen, apalagi Presiden Jokowi mengatakan bahwa penuntasan HAM adalah utang, tapi dalam penyelesainnya sulit karena ada nuansa politik," kata dia.
Baca juga: Walhi Nilai Pemerintah Belum Pahami Hak Lingkungan Hidup sebagai HAM
Hasil survei itu, lanjut Choirul, menunjukkan bahwa persoalan utama dalam menyelesaikan perkara HAM berat masa lalu bukanlah teknis hukum.
Artinya, semestinya hukum di Indonesia dapat memuluskan jalan penyelesaian kasus itu.
"Masyarakat mengatakan, penyelesaian kasus ini adalah nuansa politis hambatannya sehingga kalau hambatan-hambatan ini bisa diselesaikan, maka sesuai UU, kalau kasus sudah 90 hari penyidikan masuk ke penuntutan bisa dilakukan," kata dia.
Dampaknya, kata dia, kurang dari setahun, kasus pun sudah bisa diselesaikan di pengadilan jika hambatan politisnya bisa dikurangi.
Hasil lain pada riset tersebut menunjukkan, publik menginginkan kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan.
Publik memilih mekanisme pengadilan, baik nasional maupun internasional untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: 99,5 Persen Responden Ingin Kasus HAM Tuntas Lewat Pengadilan
Sebanyak 62,1 persen responden memilih mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan nasional.