Bobby Afif Nasution menantu Presiden Joko Widodo Selasa (3/12/2019) sore mantap mengembalikan berkas pendaftaran untuk penjaringan calon walikota Medan. Bobby bertekad akan melaju di Pilkada Kota Medan tahun 2020 dengan menggunakan PDI Perjuangan sebagai kendaraan politiknya. PDI-P Sumatera Utara memastikan Bobby tetap harus mengikuti proses yang sama dengan calon lain.
Langkah Bobby yang mantap maju menjadi Calon Wali Kota Medan menuai kritik dari Partai Keadilan Sejahtera. Bagi salah satu Mardani Ali Sera langkah Bobby seolah melanggengkan praktek dinasti politik yang selama ini marak di sejumlah daerah.
Namun kritik Mardani dibantah politisi PDI-P Junimart Girsang. Bagi Junimart majunya Bobby dan Gibran dalam bursa Pilwalkot tak berkaitan dengan nepotisme. Baik Bobby maupun Gibran selain memiliki hak politik untuk dipilih dan memilih keduanya juga merupakan representasi dari anak muda yang ingin berkontribusi di daerahnya.
Pada Desember tahun lalu Presiden Joko Widodo pernah bercerita bahwa menantunya Bobby Nasution akan mengikuti jejaknya turun ke dunia politik. Dan pernyataan Joko Widodo kini terbukti. Selain Bobby, putera sulung Jokowi Gibran Raka Buming Raka kini tengah berjuang mendapat tiket bertarung dari PDI-Perjuangan di Pilkada Solo 2020.
#PDIP #BobbyNasution #GibranRakaBumingRaka
Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh pengadilan internasional. Hanya ada 0,5 persen saja yang memilih lainnya.
"Kalau kami berangkat dari survei ini, ya hasilnya mengatakan bahwa pengadilan itu menjadi jalan yang terbaik di antara jalan yang ada," kata Choirul.
Survei selanjutnya menunjukkan kurangnya pengetahuan publik tentang pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sebanyak 50 persen responden berusia kurang dari 22 tahun (Gen Z) mengaku, tidak mengetahui apa saja kasus HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia.
Baca juga: Presiden Beri Kewenangan Penuh Nadiem Ubah Kurikulum Pendidikan
Secara spesifik, peristiwa 1965 misalnya. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyatakan tidak tahu, sebanyak 39,6 persen menyebut kasus tersebut belum tuntas dan 11,3 persen menyebut sudah tuntas.
Kemudian kasus penembakan misterius 1982-1985. Sebanyak 58,5 persen Gen Z mengaku tidak tahu kasus tersebut, sebanyak 37,7 persen menyebut belum tuntas dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas.
Selanjutnya untuk kasus peristiwa Trisakti-Semanggi 1998. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, sebanyak 43,4 persen menyebut belum tuntas dan 7,5 persen menyebut sudah tuntas.
Kasus penculikan aktivis 1997-1998 juga hampir mirip fenomenanya. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, 47,2 persen menyebut belum tuntas dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas.
Sementara, dalam kasus kerusuhan Mei 1998, 52,8 persen responden Gen Z tidak tahu, 41,5 persen menyebut belum tuntas dan 5,7 persen menyebut sudah tuntas.
Baca juga: Komnas HAM Minta Nadiem Masukan Kasus HAM Masa Lalu ke Kurikulum
Oleh sebab itu, Komnas HAM mendorong agar materi kasus HAM masa lalu masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
"Ketidaktahuan kasus (HAM masa lalu) sendiri dan angka belum tuntas atau tuntas itu mengkonfirmasi bahwa kewajiban kita khususnya Mendikbud harus mensosialisasikan pendidikan HAM," kata Choirul.
"Jadi, ada baiknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasukkan kurikulum, agar orang tahu bahwa dulu kita pernah mengalami nuansa yang gelap," lanjut dia.
Ia mengatakan, materi kurikulum jangan hanya mengakomodasi inovasi, nilai-nilai toleransi, tapi juga konteks HAM.
"Kita menjaga agar kegelapan itu tidak terulang kembali. Itu tugasnya Menteri Pendidikan, mulai TK sampai perguruan tinggi, dengan berbagai metodologi agar kasus ini menjadi tidak berulang. Ini tantangan bagi Pak Nadiem Makarim," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.