Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei Litbang Kompas soal Nasib Kasus HAM di Era Jokowi Selengkapnya

Kompas.com - 05/12/2019, 09:19 WIB
Deti Mega Purnamasari,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Litbang Kompas merilis hasil riset untuk Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM).

Hasil survei menunjukkan bahwa publik meragukan pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dapat menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, tepatnya kasus penculikan aktivis.

Selain itu, publik kurang mengetahui kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Survei juga menunjukkan bahwa nuansa politik menjadi hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Riset Litbang Kompas ini dilaksanakan pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang dan sampling error 2,8 persen.

Baca juga: KKR Dihidupkan Lagi, Mahfud Pastikan Keluarga Korban Kasus HAM Dilibatkan

Riset itu dilakukan di 34 provinsi di Indonesia dengan metodologi face to face interview, yakni menggunakan kuesioner dengan durasi wawancara maksimal 60 menit.

Empat Kasus HAM Masa Lalu

Mengenai pemerintahan Jokowi-Ma'ruf diragukan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, survei menunjukkan bahwa keraguan itu muncul hanya dalam penyelesaian kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998.

Sebanyak 51,7 persen menilai bahwa Jokowi tak mampu menyelesaikan kasus penculikan aktivis 1997-1998 dan 13,8 persen responden menganggap sangat tidak mampu.

Adapun, responden yang menjawab mampu, sebanyak 34,5 persen.

"Makanya tergantung Presiden mau tidak selesaikan sesuai harapan publik," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat pengumuman hasil riset Litbang Kompas untuk Komnas HAM yang dirilis pada Rabu (4/12/2019) di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat.

Baca juga: Usut Kasus HAM Masa Lalu, Pemerintah Ingin Hidupkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Selain kasus penculikan aktivis 1997-1998, terdapat tiga kasus lain yang juga diteliti Litbang Kompas.

Ketiganya, yakni penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Semanggi-Trisakti 1998 dan kerusuhan 1997.

Untuk kasus penembakan misterius, sebanyak 42,6 persen responden menyatakan bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu tuntaskan kasus itu. Sebanyak 7,2 persen responden menyatakan sangat tidak mampu.

Sebanyak 48 persen responden menyatakan mampu.

Kemudian untuk kasus penembakan Trisakti-Semanggi 1998, sebanyak 41,8 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tidak mampu menuntaskannya.

Selanjutnya 6,6 persen menyatakan sangat tidak mampu dan 48,9 persen menyatakan mampu.

Sementara untuk kasus kerusuhan Mei 1997, sebanyak 42,7 persen responden menilai bahwa Jokowi-Ma'ruf tak mampu menyelesaikannya, 8 persen menilai sangat tidak mampu dan 46,8 persen menilai mampu.

Baca juga: Komnas HAM: Jaksa Agung Tak Paham Mekanisme Penuntasan Kasus HAM Berat

Hambatan Terbesar

Hasil riset juga menunjukkan, nuansa politik menjadi salah satu hambatan terbesar pemerintahan Jokowi-Ma'ruf menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sebanyak 73,9 persen responden menyebutkan bahwa nuansa politik menjadi penghambat pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Sisanya, ada 23,6 persen responden yang menyatakan bahwa Jokowi memang tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya.

"Ini hampir sesuai dengan dugaan Komnas HAM bahwa hambatan politik dalam pelanggaran HAM berat, khususnya masa lalu selalu mewarnai," ujar Choirul.

Menurut Choirul, persoalan politik yang menghambat penyelesaian kasus HAM ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain.

"Makanya harus menjadi komitmen, apalagi Presiden Jokowi mengatakan bahwa penuntasan HAM adalah utang, tapi dalam penyelesainnya sulit karena ada nuansa politik," kata dia.

Baca juga: Walhi Nilai Pemerintah Belum Pahami Hak Lingkungan Hidup sebagai HAM

Hasil survei itu, lanjut Choirul, menunjukkan bahwa persoalan utama dalam menyelesaikan perkara HAM berat masa lalu bukanlah teknis hukum.

Artinya, semestinya hukum di Indonesia dapat memuluskan jalan penyelesaian kasus itu.

"Masyarakat mengatakan, penyelesaian kasus ini adalah nuansa politis hambatannya sehingga kalau hambatan-hambatan ini bisa diselesaikan, maka sesuai UU, kalau kasus sudah 90 hari penyidikan masuk ke penuntutan bisa dilakukan," kata dia.

Dampaknya, kata dia, kurang dari setahun, kasus pun sudah bisa diselesaikan di pengadilan jika hambatan politisnya bisa dikurangi.

Diselesaikan Lewat Pengadilan

Hasil lain pada riset tersebut menunjukkan, publik menginginkan kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan.

Publik memilih mekanisme pengadilan, baik nasional maupun internasional untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: 99,5 Persen Responden Ingin Kasus HAM Tuntas Lewat Pengadilan

Sebanyak 62,1 persen responden memilih mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui pengadilan nasional.

Sisanya, 37,2 persen memilih diselesaikan oleh pengadilan internasional. Hanya ada 0,5 persen saja yang memilih lainnya.

"Kalau kami berangkat dari survei ini, ya hasilnya mengatakan bahwa pengadilan itu menjadi jalan yang terbaik di antara jalan yang ada," kata Choirul.

Dorong Agar Masuk ke Kurikulum

Survei selanjutnya menunjukkan kurangnya pengetahuan publik tentang pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sebanyak 50 persen responden berusia kurang dari 22 tahun (Gen Z) mengaku, tidak mengetahui apa saja kasus HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia.

Baca juga: Presiden Beri Kewenangan Penuh Nadiem Ubah Kurikulum Pendidikan

Secara spesifik, peristiwa 1965 misalnya. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyatakan tidak tahu, sebanyak 39,6 persen menyebut kasus tersebut belum tuntas dan 11,3 persen menyebut sudah tuntas.

Kemudian kasus penembakan misterius 1982-1985. Sebanyak 58,5 persen Gen Z mengaku tidak tahu kasus tersebut, sebanyak 37,7 persen menyebut belum tuntas dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas.

Selanjutnya untuk kasus peristiwa Trisakti-Semanggi 1998. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, sebanyak 43,4 persen menyebut belum tuntas dan 7,5 persen menyebut sudah tuntas.

Kasus penculikan aktivis 1997-1998 juga hampir mirip fenomenanya. Sebanyak 49,1 persen responden Gen Z menyebut tidak tahu, 47,2 persen menyebut belum tuntas dan 3,8 persen menyebut sudah tuntas.

Sementara, dalam kasus kerusuhan Mei 1998, 52,8 persen responden Gen Z tidak tahu, 41,5 persen menyebut belum tuntas dan 5,7 persen menyebut sudah tuntas.

Baca juga: Komnas HAM Minta Nadiem Masukan Kasus HAM Masa Lalu ke Kurikulum

Oleh sebab itu, Komnas HAM mendorong agar materi kasus HAM masa lalu masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.

"Ketidaktahuan kasus (HAM masa lalu) sendiri dan angka belum tuntas atau tuntas itu mengkonfirmasi bahwa kewajiban kita khususnya Mendikbud harus mensosialisasikan pendidikan HAM," kata Choirul.

"Jadi, ada baiknya kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasukkan kurikulum, agar orang tahu bahwa dulu kita pernah mengalami nuansa yang gelap," lanjut dia.

Ia mengatakan, materi kurikulum jangan hanya mengakomodasi inovasi, nilai-nilai toleransi, tapi juga konteks HAM.

"Kita menjaga agar kegelapan itu tidak terulang kembali. Itu tugasnya Menteri Pendidikan, mulai TK sampai perguruan tinggi, dengan berbagai metodologi agar kasus ini menjadi tidak berulang. Ini tantangan bagi Pak Nadiem Makarim," kata dia.

 

Kompas TV

Bobby Afif Nasution menantu Presiden Joko Widodo Selasa (3/12/2019) sore mantap mengembalikan berkas pendaftaran untuk penjaringan calon walikota Medan. Bobby bertekad akan melaju di Pilkada Kota Medan tahun 2020 dengan menggunakan PDI Perjuangan sebagai kendaraan politiknya. PDI-P Sumatera Utara memastikan Bobby tetap harus mengikuti proses yang sama dengan calon lain.

Langkah Bobby yang mantap maju menjadi Calon Wali Kota Medan menuai kritik dari Partai Keadilan Sejahtera. Bagi salah satu Mardani Ali Sera langkah Bobby seolah melanggengkan praktek dinasti politik yang selama ini marak di sejumlah daerah.

Namun kritik Mardani dibantah politisi PDI-P Junimart Girsang. Bagi Junimart majunya Bobby dan Gibran dalam bursa Pilwalkot tak berkaitan dengan nepotisme. Baik Bobby maupun Gibran selain memiliki hak politik untuk dipilih dan memilih keduanya juga merupakan representasi dari anak muda yang ingin berkontribusi di daerahnya.

Pada Desember tahun lalu Presiden Joko Widodo pernah bercerita bahwa menantunya Bobby Nasution akan mengikuti jejaknya turun ke dunia politik. Dan pernyataan Joko Widodo kini terbukti. Selain Bobby, putera sulung Jokowi Gibran Raka Buming Raka kini tengah berjuang mendapat tiket bertarung dari PDI-Perjuangan di Pilkada Solo 2020.

#PDIP #BobbyNasution #GibranRakaBumingRaka

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com