Dalam UU Penyandang Disabilitas, pemerintah mengakui hak penyandang disabilitas dan mewajibkan pemerintah untuk memberikan mereka perlakuan yang setara dengan non-disabilitas.
Banyak organisasi yang bergerak di isu disabilitas di Indonesia memuji peraturan baru tersebut karena telah memperkenalkan pendekatan yang lebih adil terhadap penyandang disabilitas.
Perhatian terhadap penyandang disabilitas juga terlihat dari suksesnya penyelenggaraan Asean Para Games (PRG) 2018 yang menjadi bagian pemenuhan hak-hak penyandang disbilitas untuk berpartisipasi dalam bidang olahraga.
Penyandang disabilitas memiliki kemampuan yang hebat dan setara dengan non-disabilitas.
Kita mengenal Helen Keller, Steve Jobs, Stephen Hawking, Stevie Wonder, Ludwid van Bethoven, Agkie Yudistia, Nina Gusmita, M. Ade Irawan, dan Ramona Purba.
Hak yang sama akan menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosial, terutama bagi anak yang menyandang disabilitas di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Angkie Yudistia bisa menjadi jembatan mengenai apa saja yang dibutuhkan oleh 21 jiwa penyandang disabilitas di Indonesia.
Ia ditantang menciptakan strategi agar para difabel bisa mencapai kemandirian, melepas stigma ketidakmampuan menjadi kemampuan yang setara dengan non-penyandang disabilitas di pasar kerja.
Pengalaman Angkie dalam mengelola Thisable Enterprise bisa dijadikan contoh untuk membuka peluang lain yang lebih luas dan merata di seluruh pelosok nusantara.
Baca juga: Dari Kekurangannya, Angkie Bangkit Mendirikan Thisable Enterprise
Persoalan lain yang menjadi pekerjaan rumah besar adalah soal angka partisipasi sekolah (APS).
Masih ada ketimpangan partisipasi sekolah antara penyandang disabilitas dan bukan disabilitas pada 2018, terlebih di perguruan tinggi.
Berdasarkan Statistik Pendidikan 2018, persentase penduduk usia 5 tahun ke atas penyandang disabilitas yang masih sekolah hanya 5,48 persen.
Persentase tersebut jauh dari penduduk yang bukan penyandang disabilitas, yaitu mencapai 25,83 persen.
Semakin tinggi kelompok umur, semakin rendah pula angka partisipasi sekolah (APS).
APS tertinggi terjadi pada kelompok umur 7-12 tahun, yaitu sebesar 91,12 persen untuk penyandang disabilitas dan 99,29 persen untuk bukan penyandang disabilitas.
Sementara itu, APS terendah terjadi pada kelompok umur 19-24 tahun, yaitu 12,96% untuk penyandang disabilitas dan 24,53% untuk penyandang bukan disabilitas.
Upaya membangun budaya inklusif dan ramah terhadap penyandang disabilitas harus diteruskan digencarkan di sekolah termasuk di perguruan tinggi.
Sebagai salah satu pencetak SDM, Perguruan Tinggi diharapkan bisa bekerja sama secara lintas sektor dengan pemerintah dan lembaga lain untuk menyediakan tenaga pendidik yang berwawasan inklusif dan mampu melakukan layanan pembelajaran yang akomodatif sesuai kebutuhan peserta didik yang beragam.
Kesadaran masyarakat tentang disabilitas, menghilangkan stigma terhadap penyandang disabilitas, memberikan dukungan untuk meningkatkan kemampuan serta kesejahteraan difabel perlu ditingkatkan.
Cara pandang baru sangat diperlukan untuk masyarakat umum membantu percepatan peran penyandang disabilitas dengan memberikan fasilitas yang ramah difabel.
Edukasi terhadap pembuat kebijakan juga diperlukan agar tidak melahirkan kebijakan yang bernuansa diskriminatif, apatis, dan penuh apriori.
Kita berharap Staf Khusus Presiden bisa meningkatkan peran penyandang disabilitas dalam pembangunan bangsa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.