JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno berpendapat, munculnya keinginan musyawarah nasional (munas) yang berlangsung aklamasi tidak mencerminkan tradisi Partai Golkar.
Ia menilai, Golkar mampu mengalami modernisasi kepartaian lantaran tidak pernah menggantungkan masa depan politiknya hanya pada satu tokoh.
Golkar berhasil bertransformasi menjadi partai politik modern karena mampu menghadirkan kader terbaik lain dalam bursa ketua umum.
Oleh karena itu, menurut Adi, sejumlah kader langsung menyambut baik ketika munculnya isu munas tak hanya menghadirkan calon tunggal.
Baca juga: Politisi Golkar Nilai Masa Jabatan Presiden 3 Periode Bisa Ciptakan Otoritarian
Apabaila itu terwujud, kata dia, tentu akan menjadi bagian pesta demokrasi di internal partai berlambang pohon beringin tersebut.
"Kalau semua partai itu munasnya atau kongresnya hanya formalitas ketok palu, ya enggak ada gunanya juga bikin partai, karena orangnya itu-itu saja," ujar Adi di Jenggala Center, Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Adi mengatakan, pertumbuhan struktural kekuatan politik Golkar terletak pada tokoh yang begitu banyak, seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Airlangga Hartarto, hingga Aburizal Bakrie.
Hal itu terlihat ketika kader Golkar tersandung kasus korupsi menjelang berlangsungnya Pemilu 2019. Kasus tersebut ternyata tak berimplikasi besar pada hasil suara Golkar.
Ini berbeda dengan partai lain, misalnya PPP. Menurut Adi, ketika Ketua Umum PPP Muchammad Romahurmuziy terjerat kasus korupsi jelang Pemilu 2019, suara PPP justru mengalami penurunan.
Fakta tersebut menggambarkan bahwa kekuatan tokoh-tokoh di Golkar terbangun masif.
"Arena anatomi struktur Golkar terletak pada figur yang berpenetrasi di bawah, termasuk pula kekuatan struktur yang kemudian terbangun masif," kata Adi.
Baca juga: Tokoh Senior Golkar Nilai Partai Lain Sulit Punya Kandidat Ketum Lebih dari Satu
Sebelumnya, Ketua Umum Golkar yang disebut-sebut bakal kembali menjadi caketum, Airlangga Hartarto, melempar sinyal bahwa pemilihan ketua umum Golkar yang baru dapat dilakukan secara aklamasi.
Di sisi lain, Bambang Soesatyo menyebut, pemilihan ketua umum partai secara aklamasi berpotensi memecah belah partai.
Dalam tubuh Golkar, mekanisme aklamasi ini terbukti pernah membagi partai menjadi dua kubu.
"Tapi yang pasti kita punya pengalaman pahit, pemaksaan aklamasi itu membuat kita pecah dan kita pernah pecah ada (kubu) Ancol dan (kubu) Bali. (Kubu) Bali itu kan pemaksaan aklamasi yang melahirkan (kubu) Ancol," kata Bambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.