JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat yang menamakan diri Tim Advokasi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Peraturan tersebut merupakan Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Ada 13 pemohon yang mengajukan uji formil tersebut. Tiga di antaranya Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil ketua KPK Laode Muhammad Syarif, dan Wakil ketua KPK Saut Situmorang.
Pemohon lainnya yang juga hadir dalam pengajuan tersebut adalah Mochammad Jasin, mantan Wakil Ketua KPK.
Keempatnya juga didampingi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang datang ke Gedung MK.
Mereka tiba di Gedung MK pukul 15.00. Hanya sekitar 15 menit keempatnya mendaftarkan uji formil ke ruang Penerimaan Perkara Konstitusi MK.
Baca juga: Uji Materi UU KPK ke MK, Laode M Syarif Sebut Korupsi Musuh Utama Bangsa
Usai mendaftarkan gugatan, Agus mengatakan, pengajuan tersebut bukan mengatasnamakan lembaga KPK, melainkan atas nama pribadi dan warga negara.
Ia mengaku didukung 39 kuasa hukum.
Menurut Agus, pengajuan uji formil dilakukan kendati masih berharap ada upaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
"Pengajuan judicial review terkait dengan UU KPK yang baru Nomor 19 tahun 2019. Walaupun harapan kami sebenernya masih pengen presiden mengelurkan perppu," ujar Agus di Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Rabu (20/11/2019).
Sementara itu, Laode menuturkan, judicial review tersebut menyoroti adanya kesalahan pada proses pembahasan revisi UU KPK.
Menurut dia proses revisi UU KPK terkesan terburu-terburu. Terlebih, dalam prosesnya, DPR tidak melakukan konsultasi publik.
Bahkan, daftar inventaris masalah (DIM) tidak diperlihatkan kepada KPK sebagai stakeholder utama dari UU KPK.
"Berikutnya, bahkan tidak ada naskah akademik dari uu itu, tidak masuk dalam prolegnas," kata dia.
Baca juga: 39 Kuasa Hukum Kawal Uji Materi UU KPK di MK
Menurut dia, sebetulnya KPK bukan tidak ingin kooperatif dalam membangun kerja sama dengan pemerintah dan parlemen.
Namun, pihaknya melihat banyak kesalahan yang terjadi dari hasil revisi UU KPK, termasuk kesalahan dari segi formil dan materil.
"Kami sudah mendiskusikan dan yang lain setuju. Kita meminta bahwa salah satunya membatalkan ini dan memberlakukan UU KPK (sebelumnya)," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.