Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Diminta Tak Bebankan Defisit BPJS Kesehatan pada Publik

Kompas.com - 07/11/2019, 09:58 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Lokataru Foundation, Muhammad Elfiansyah Alaydrus, mengatakan, pemerintah seharusnya tidak membebankan defisit anggaran BPJS Kesehatan kepada masyarakat.

Menurut dia, masyarakat tak seharusnya membayar kenaikan iuran sebagai akibat tidak tertibnya pengelolaan anggaran BPJS Kesehatan.

"Logikanya, defisit anggaran ini jangan seakan-akan selalu dibebankan kepada masyarakat karena (alasan) masyarakat tidak tertib membayar iuran," ujar Elfiansyah ketika dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (7/11/2019).

Baca juga: Lokataru Kecam Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Pasalnya, lanjut dia, berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 2019, ditemukan sejumlah celah yang menjadi akar defisit BPJS Kesehatan.

Salah satunya perihal besaran iuran kepesertaan BPJS Kesehatan yang tidak sesuai dengan usulan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Yang mana berdasarkan usulan DJSN tersebut untuk segmen peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 36.000, peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas I sebesar Rp 80.000, kelas II sebesar Rp 63.000 dan kelas III sebesar Rp 53.000.

"Namun pada kenyataannya iuran BPJS Kesehatan tidak pernah mengikuti usulan DJSN dan hanya sekali ditinjau ulang yakni pada 2016. Sementara itu, berdasarkan Pasal 38 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, maka seharusnya paling lama setiap dua tahun sekali dilakukan peninjauan ulang untuk besaran iuran," jelas Elfiansyah.

Sebagaimana diketahui, skema iuran BPJS Kesehatan yang saat ini masih digunakan, yakni bagi Peserta PBI yang didaftarkan oleh pemerintah daerah yaitu sebesar Rp 23.000. Iuran peserta Kelas I sebesar Rp 80.000. 

Iuran peserta kelas II sebesar Rp 51.000. Iuran peserta kelas III sebesar Rp 25.500.

Elfiansyah mengungkapkan semestinya skema iuran BPJS Kesehatan ini diperbaiki pada 2016 lalu. Hal ini dilakukan untuk menghindari potensi defisit anggaran.

"Makanya defisit terus dan pada 2016 seharusnya mulai diperbaiki tapi banyak penolakan sehingga tidak terjadi kenaikan (iuran)," ungkapnya.

Kemudian, lanjut dia, pada 2018 lalu seharusnya dilakukan review kembali untuk kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Namun, langkah ini juga urung dilaksanakan pemerintah.

"Mengapa tidak dilakukan juga, apa mungkin takut karena (menjelang) tahun politik?. Kami melihat sejak awal BPJS Kesejahatan sudah salah penghitungan aktuaria di mana ketentuan dari DJSN. Lalu sekarang begitu pelayanan sudah memburuk, banyak orang yang menderita, iuran dinaikkan?, " ujar Elfiansyah mengkritisi.

Kondisi ini menurut dia yang memantik sentimen publik seperti sekarang. "Masyarakat tidak mendapat pelayanan yang baik, kemudian tiba-tiba dinaikkan iurannya," tambah Elfiansyah.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen pada Kamis (24/10/2019) lalu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

Nasional
KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

Nasional
BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

Nasional
PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

Nasional
BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

Nasional
Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut Rusak 27 Unit Rumah, 4 di Antaranya Rusak Berat

BNPB: Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut Rusak 27 Unit Rumah, 4 di Antaranya Rusak Berat

Nasional
Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com