JAKARTA, KOMPAS.com- Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menegaskan, tidak ada kerugian negara dalam kasus restitusi pajak yang melibatkan sebuah perusahaan berinisial PT WAE yang bergerak di bidang penjualan mobil merk Jaguar, Land Rover, dan Mazda.
"Ini kasusnya beda. Ini bukan kasus kerugian negara. Kalau kerugian negara kan harus dihitung dulu. Ini suap kasusnya. Jadi enggak ada kerugian negara," ujar Saut seusai konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (15/8/2019).
Justru, lanjut Saut, negara harus tetap membayarkan kelebihan pajak perusahaan tersebut.
"Alih-alih perusahaan sebagai wajib pajak membayar pajak ke negara, dalam kasus ini, justru ditemukan negara yang harus membayar klaim kelebihan bayar pada perusahaan," ujar Saut.
Baca juga: Kronologi Bos Dealer Jaguar Suap 4 Pegawai Pajak
Diketahui, Komisaris PT WAE Darwin Maspolim diduga menyuap empat orang pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Keempatnya awalnya ditugaskan untuk memeriksa pajak PT WAE.
Keempat penerima suap, yakni Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga Kanwil Jakarta Khusus Yul Dirga, Supervisor Tim Pemeriksa Pajak PT WAE Hadi Sutrisno, Ketua Tim Pemeriksa Pajak PT WAE Jumari dan Anggota Tim Pemeriksa Pajak PT WAE M. Naim Fahmi.
"Tersangka DM, pemilik saham PT WAE, diduga memberi suap sebesar Rp 1,8 miliar untuk YD, HS, JU dan MNF agar menyetujui pengajuan restitusi pajak PT WAE," kata Saut.
Suap ditujukan agar jumlah restitusi pajak yang harus dikembalikan negara lebih besar daripada yang terutang. Caranya adalah dengan merekayasa nota.
Baca juga: Bos Dealer Jaguar Suap Pegawai Pajak Rp 1,8 Miliar, 5 Orang Jadi Tersangka
Dalam kasus ini, Darwin sebagai pihak penyuap disangka melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sedangkan, empat tersangka lain yang menjadi pihak penerima disangka melanggar pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.