Jumlah tersebut berasal dari berbagai latar belakang profesi, antara lain akademisi 7 orang, advokat 2 orang, jaksa 3 orang, mantan jaksa 1 orang, dan hakim 1 orang.
Kemudian, ada sebanyak 6 orang dari anggota Polri, 5 orang komisioner dan pegawai KPK, 4 orang auditor, 1 orang komisi kejaksaan, 4 orang PNS, 1 orang pensiunan PNS, dan latar belakang lainnya sebanyak 5 orang.
Dua Cara Hancurkan KPK
Bermula dari proses seleksi capimnya, Samad khawatir ada orang-orang yang ingin merusak dan melemahkan KPK.
Sebab menurut dia, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menghancurkan dan melemahkan KPK.
Baca juga: Koalisi: Tak Ada Maksud Jatuhkan atau Menjegal Capim dan Pansel KPK
Kedua cara menghancurkan KPK yang dimaksud Samad adalah dari faktor eksternal dan internal KPK itu sendiri.
"Eksternal mudah dilihat. Semua orang bisa lihat. Itu bisa dilawan dan dihadapi. Kalau ancaman dari dalam, inu tang tidak kelihatan dan bahaya," ujar dia.
Menurut dia, hal-hal yang dapat menghancurkan KPK dari faktor internal adalah adanya kepentingan-kepentingan luar yang seharusnya tidak masuk ke KPK, malah muncul lewat orang-orang tertentu.
Baca juga: Koalisi: Tak Ada Maksud Jatuhkan atau Menjegal Capim dan Pansel KPK
"Karena orang-orang tertentu itu sudah masuk, maka dia yang melemahkan KPK dari dalam dan itu sekarang sedang berlangsung," kata dia.
"Jangan heran kalau situasi KPK sekarang memprihatinkan," lanjut dia.
Jika hal ini tidak dikritisi dengan kuat, kata dia, maka seleksi capim KPK saat ini akan berbahaya bagi kelangsungan KPK ke depannya.
Jangan Buru-buru!
Samad juga menilai supaya pansel capim KPK tidak terburu-buru dalam melakukan seleksi.
Ia menilai, jika pansel terburu-buru dalam melakukan seleksi, maka masyarakat justru akan bertanya-tanya.
Baca juga: Kirim Surat ke Jokowi, Koalisi Keberatan Capim Belum Lapor LHKPN
"Menurut saya tidak boleh buru-buru. Kalau buru-buru, masyarakat jadi bertanya-tanya. Kenapa harus buru-buru?" ujar dia.
Menurut dia, keterburu-buruan itu terlihat dari jadwal fit and proper test yang dipercepat. Semula targetnya adalah Desember, dipercepat menjadi September 2019 ini.
Walau tak menyebutkan keterburu-buruan seleksi itu karena ada udang dibalik batu, tapi Samad menilai hal tersebut tidak baik bagi iklim demokrasi saat ini.
"Yang pasti itu membuat masyarakat bertanya-tanya. Jangan melalukan sesuatu yang membuat masyarakat bertanya-tanya dan menaruh curiga," pungkas dia.