Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/07/2019, 06:24 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mengungkapkan enam kasus yang diduga berkaitan dengan penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.

Enam kasus yang terbilang high profile itu ditangani Novel di KPK maupun saat bertugas di kepolisian.

Atas temuan itu, TGPF juga merekomendasikan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian untuk melakukan pendalaman terhadap kasus-kasus tersebut.

Juru bicara TGPF Nurkholis mengatakan, tim menduga bahwa kasus-kasus tersebut bisa menjadi motif balas dendam dari pihak terkait untuk mencederai Novel.

"TGPF meyakini kasus-kasus tersebut berpotensi menimbulkan serangan balik atau balas dendam karena adanya dugaan kewenangan secara berlebihan atau excessive use of power," kata Nurkholis saat konferensi pers penyampaian hasil investigasi TGPF di Mabes Polri, Rabu (17/7/2019).

Baca juga: KPK Dukung Usul Kasus Novel Baswedan Jadi Materi Seleksi Capim

Novel Baswedan disiram cairan kimia oleh dua pria yang mengendarai sepeda motor pada 11 April 2017.

Saat itu, Novel sedang berjalan menuju rumahnya setelah menjalankan shalat subuh di Masjid Jami Al Ihsan, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Cairan itu tepat mengenai wajah Novel. Kejadian itu berlangsung begitu cepat sehingga Novel tak sempat mengelak dan juga melihat jelas pelaku penyerangan.

Tak seorang pun berada di lokasi saat peristiwa penyiraman itu terjadi. Berikut rangkuman singkat soal enam kasus high profile yang diduga berkaitan dengan penyerangan Novel Baswedan:

Terpidana kasus korupsi proyek KTP elektronik, Setya Novanto (tengah) berada dalam mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (10/4/2019). Setya Novanto  menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Markus Nari terkait  kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik dengan dugaan menerima uang sebanyak Rp4 miliar untuk memuluskan pembahasan anggaran perpanjangan proyek pada tahun anggaran 2013. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc.ANTARA/RENO ESNIR Terpidana kasus korupsi proyek KTP elektronik, Setya Novanto (tengah) berada dalam mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (10/4/2019). Setya Novanto menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Markus Nari terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik dengan dugaan menerima uang sebanyak Rp4 miliar untuk memuluskan pembahasan anggaran perpanjangan proyek pada tahun anggaran 2013. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc.

1. Kasus korupsi e-KTP

Penanganan dugaan korupsi pengadaan e-KTP termasuk kasus yang paling lama dan melibatkan banyak pihak.

Kasus ini bermula dari rencana Kementerian Dalam Negeri melakukan pengadaan KTP elektronik untuk tahun 2011 dan 2012.

Namun, terjadi kejanggalan mulai dari proses tender sehingga menyebabkan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 2,3 triliun.

Baca juga: Anggota Tim Teknis Kasus Novel akan Dibagi Dalami 6 Kasus High Profile

Setelah melakukan berbagai penyelidikan sejak 2012, KPK menetapkan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto sebagai tersangka.

Penyidikan kasus ini pun meluas dan menyentuh sejumlah anggota DPR. Dalam dakwaan, beberapa nama politisi disebut seperti Gubernur Jawa Timur Ganjar Pranowo, Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, Anas Urbaningrum, Markus Nari, Jafar Hafsah, dan beberapa mantan anggota DPR RI lainnya periode 2009-2014.

Dalam kasus ini, nama mantan Ketua DPR RI Setya Novanto juga diseret dan belakangan menjadi tersangka.

Anggota DPR lainnya yang juga jadi tersangka yakni Markus Nari dan Miryam S Haryani karena memberikan keterangan palsu dalam persidangan.

2. Kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar

Kasus lainnya yang menjadi drama panjang di KPK yakni pekrara korupsi yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, AKil Mochtar.

Ia divonis bersalah karena terbukti menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dan tindak pidana pencucian uang.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, hadir di Pengadilan Tipikor Jakarta untuk persidangan terdakwa Bupati nonaktif Morotai, Maluku Utara, Rusli Sibua, Senin (21/9/2015).TRIBUNNEWS / HERUDIN Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, hadir di Pengadilan Tipikor Jakarta untuk persidangan terdakwa Bupati nonaktif Morotai, Maluku Utara, Rusli Sibua, Senin (21/9/2015).

Hakim menyatakan, Akil terbukti menerima suap terkait sejumlah sengketa pilkada di Kabupaten Gunung Mas, Pilkada Kalimantan Tengah, Pilkada Lebak di Banten, Pilkada Empat Lawang, Pilkada Kota Palembang, Pilkada Kabupaten Buton, Pilkada Kabupaten Pulau Morotai, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan menerima janji pemberian terkait keberatan hasil Pilkada Provinsi Jawa Timur.

Baca juga: Ini 6 Kasus High Profile yang Diduga Terkait Penyerangan Novel

Dari pengembangan perkaranya, KPK menjadikan tersangka sejumlah kepala daerah yang dimenangkan perkaranya oleh Akil, seperti mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan Bupati Buton Samsu Umar, mantan Bupati Morotai Rusli Sibua, mantan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan istrinya. 

3. Kasus mantan Sekjen MA Nurhadi

Dalam perkara ini, mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi diduga menerima suap untuk penanganan sejumlah perkara yang melibatkan beberapa perusahaan di bawah Lippo Group.

Hal tersebut terungkap dalam persidangan terkait kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Nama Nurhadi disebut beberapa saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut KPK.

Nurhadi juga disebut dalam surat dakwaan terhadap terdakwa Pegawai PT Artha Pratama Anugerah, Doddy Arianto Supeno yang menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.

Dalam dakwaan tersebut, Nurhadi berperan mempercepat pengurusan pengajuan peninjauan kembali (PK) yang telah lewat batas waktu pengajuannya.

Baca juga: TGPF Berhenti Gali soal Jenderal Polisi dari Novel karena Ini...

Keterlibatan Nurhadi terkait pengajuan PK perkara niaga PT Across Asia Limited (AAL) melawan PT First Media.

KPK telah menyita uang sebesar Rp 1,7 miliar dalam pecahan mata uang asing saat menggeledah rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta.

KPK menduga, uang tersebut terkait dengan perkara hukum yang sedang ditelusuri.

KPK juga beberapa kali menjadwalkan panggilan pemeriksaan kepada empat ajudan Nurhadi yang seluruhnya merupakan anggota Polri.

Polri menyebut, keempat anggotanya sudah diperiksa KPK. Namun, KPK membantahnya. Hingga kini, KPK belum menetapkan Nurhadi sebagai tersangka.

Terdakwa Hartati Murdaya menjalani sidang vonis di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Senin (4/2/2013). Hartati Murdaya diduga terlibat kasus penyuapan senilai total Rp 3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah.  KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Terdakwa Hartati Murdaya menjalani sidang vonis di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Senin (4/2/2013). Hartati Murdaya diduga terlibat kasus penyuapan senilai total Rp 3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah.

4. Kasus mantan Bupati Buol, Amran Batalipu

Novel Baswedan merupakan penyidik yang memimpin penangkapan Bupati Buol Amran Batalipu pada 2012.

Amran sempat melawan saat ditangkap tangan menerima suap dari anak buah pengusaha Siti Hartati Murdaya. Saat itu, Novel mengejar Amran yang sempat kabur menggunakan sepeda motor.

Amran pun dijatuhi hukuman tujuh tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.

Sementara itu, Hartati divonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan atas pemberian uang kepada Amran. 

Selaku Bupati Buol pada 2012, Amran dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima hadiah atau janji berupa uang Rp 3 miliar dari PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP)/ PT Cipta Cakra Mudaya (PT CCM) dalam dua tahap.

Baca juga: ICW Keberatan dengan Pembebasan Bersyarat Hartati Murdaya

Uang tersebut merupakan barter atas jasa Amran yang membuat surat rekomendasi terkait izin usaha perkebunan dan hak guna usaha perkebunan untuk PT HIP/ PT CCM di Buol.

5. Kasus korupsi Wisma Atlet

Kasus korupsi yang terjadi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini melibatkan banyak orang penting.

Kasus ini menyeret mulai dari mantan Ketua Komite Pembangunan Wisma Atlet SEA Games Rizal Abdullah; mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin beserta anak buahnya, Mindo Rosalina Manulang; mantan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, hingga Direktur Pemasaran PT Duta Graha Indah Mohammad El Idris.

Dalam pengadaan wisma atlet SEA Games, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan ini diduga ada mark up atau penggelembungan harga yang mengakibatkan kerugian negara.

Nilai kerugian negara dalam proyek ini kurang lebih Rp 25 miliar.

Muhammad Nazaruddin bersaksi dalam sidang kasus korupsi pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (20/11/2017).KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN Muhammad Nazaruddin bersaksi dalam sidang kasus korupsi pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (20/11/2017).

Dalam pengembangannya, KPK juga menjerat sejumlah anggota DPR RI periode tersebut antara lain Angelina Sondakh serta Anas Urbaningrum dan mantan Menpora Andi Mallarangeng dalam kasus korupsi proyek pembangunan pusat pelatihan dan pendidikan sekolah olahraga (P3SON) Hambalang Bogor, Jawa Barat.

6. Kasus pencurian sarang burung walet

Kasus ini sebenarnya tidak ditangani Novel sebagia penyidik KPK. Namun, kasus ini kembali diungkit setiap kali Novel mengungkap kasus-kasus sensitif.

Kasus ini terjadi saat Novel pada tahun 2004 menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polda Bengkulu.

Novel disebut menembak keenam orang tersebut di pinggir Pantai Panjang, Bengkulu, setelah diinterogasi di kantor polisi.

Keenam orang itu dilarikan ke rumah sakit, dan satu orang akhirnya meninggal dunia. Novel pun dijerat kasus pembunuhan dan dijadikan tersangka.

Novel sempat dijemput di gedung KPK pada Oktober 2012 malam oleh sejumlah anggota Polda Bengkulu. Namun, Novel kembali dilepaskan setelah adanya lobi dengan KPK.

Baca juga: Presiden Jokowi: Penyerangan Novel Baswedan Bukan Kasus Mudah

Hingga 2017, kasus ini masih diungkit. Bahkan para korbannya pun muncul ke public dan memberikan kesaksian.

Pimpinan KPK saat itu, Bambang Widjojanto menegaskan, bukan Novel yang melakukan penembakan yang dituduhkan tersebut.

Namun, sebagai Kasat Reskrim, Novel mengambil alih tanggungjawab atas penyimpangan prosedur yang dilakukan anak buahnya.

"Untuk itu dia sudah mendapatkan teguran keras, dan kasus ini sudah selesai pada tahun 2004," kata Bambang.

Kasus yang terlupa

Setelah keenam kasus tersebut, menurut Novel, masih ada satu kasus lagi yang diduga berkaitan dengan penyerangannya.

Kasus yang dia maksud adalah korupsi suap impor daging dengan tersangka Basuki Hariman.

Kasus ini kemudian berkembang menjadi kasus "buku merah" karena ada catatan yang ditemukan berisi daftar penerima suap.

"Kasus ini tidak disampaikan dalam rilis. Saya hanya mengingatkan barangkali TGPF lupa," ujar Novel dalam program "Mata Najwa" yang ditayangkan Narasi TV dan diunggah pada Kamis (25/7/219).

Dalam laporan soal "buku merah" Indonesialeaks, muncul dugaan perusakan barang bukti dalam kasus suap impor daging tersebut.

Baca juga: Novel Baswedan Sebut TGPF Lupa Ungkit Kasus Buku Merah dalam Temuannya

Laporan itu menyebut bahwa perusakan barang bukti tersebut diduga dilakukan oleh dua penyidik yang berasal dari Polri.

Aliran dana suap impor daging tersebut diduga mengalir ke Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.

Novel mengatakan, saat ada pertemuan TGPF di KPK, saat itu tim tersebut menyampaikan kasus-kasus yang diduga berkaitan dengan penyerangan Novel, salah satunya kasus suap impor daging.

"Ini bukan kata saya. Ketika tim pakar datang ke KPK, ada dugaan keterkaitan dengan skandal kasus daging atau buku merah. Maka saya ingatkan bahwa TGPF pernah menyampaikan hal itu waktu pertemuan di KPK," kata Novel.

Meski begitu, Novel enggan berspekulasi soal adanya konflik kepentingan karena dugaan keterlibatan jenderal polisi. Ia hanya ingin tim fokus untuk mendalami bukti-bukti dan saksi yang sudah diperiksa.

Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan ditemui di depan kediamannya di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (11/4/2019). Dua tahun kasusnya tak juga selesai, Novel berharap Presiden Joko Widodo membentuk tim gabungan pencari fakta. Kompas.com / Tatang Guritno Penyidik Senior KPK, Novel Baswedan ditemui di depan kediamannya di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (11/4/2019). Dua tahun kasusnya tak juga selesai, Novel berharap Presiden Joko Widodo membentuk tim gabungan pencari fakta.

Tito Karnavian sebelumnya telah berkomentar mengenai kasus "buku merah" itu.

Dilansir dari Gatra, Tito mengatakan bahwa polisi pernah memeriksa dua orang yang mengetahui pembuatan buku tersebut terkait kebenaran informasi di dalam buku.

Mereka diperiksa karena ada kaitannya dengan kasus di Bea Cukai. Pemeriksaan dilakukan oleh Penyidik Polda Metro Jaya.

"Dia (Basuki Hariman) ditanya apa kenal dengan Tito Karnavian? Dia bilang secara personal tidak kenal, tapi sering lihat di ruang publik," ucap Tito.

"Ditanya lagi kenapa nama Tito dicatat di situ? Dia bilang untuk meyakinkan staf-stafnya bahwa dia punya power, jaringan kenal dengan pejabat, sekaligus untuk ada pembukuan bahwa dia bisa menarik uang," ujar dia. 

Baca juga: TGPF: Novel Tak Pernah Kasih Petunjuk Kasus Buku Merah

Saat kasus itu terjadi, Tito menjabat sebagai Kepala Polda Metro Jaya. Tito juga mempertanyakan kebenaran informasi dalam buku itu, sebab bukan buku bank.

Di dalamnya terdapat informasi dengan tulisan tangan yang dinilai perlu dipertanyakan kebenarannya.

Dia juga membantah soal adanya rekaman kamera CCTV yang memperlihatkan adanya perusakan terhadap "buku merah" dan juga penghapusan dengan tip-ex.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Masyarakat Sipil Minta MK Tegur KPU soal Aturan Eks Terpidana Jadi Caleg

Masyarakat Sipil Minta MK Tegur KPU soal Aturan Eks Terpidana Jadi Caleg

Nasional
Profil Denny Indrayana, Pakar Hukum yang 'Ribut' soal Anies Bakal Dijegal dan Isu Putusan MK

Profil Denny Indrayana, Pakar Hukum yang "Ribut" soal Anies Bakal Dijegal dan Isu Putusan MK

Nasional
Menyoal 'Cawe-cawe' Presiden Jokowi

Menyoal "Cawe-cawe" Presiden Jokowi

Nasional
Presiden PKS Ingatkan Kadernya untuk Mundur jika Langgar Etika dan Hukum

Presiden PKS Ingatkan Kadernya untuk Mundur jika Langgar Etika dan Hukum

Nasional
Masa Jabatan Pimpinan KPK Berubah, Johan Budi Nilai UU KPK Perlu Direvisi

Masa Jabatan Pimpinan KPK Berubah, Johan Budi Nilai UU KPK Perlu Direvisi

Nasional
AHY, Khofifah, Aher Jadi Kandidat Utama Cawapres Anies, PKS: Terbuka Kemungkinan Muncul Nama Kejutan

AHY, Khofifah, Aher Jadi Kandidat Utama Cawapres Anies, PKS: Terbuka Kemungkinan Muncul Nama Kejutan

Nasional
 [POPULER NASIONAL] PDI-P Siapkan 10 Nama Cawapres untuk Ganjar | Pengakuan Tersangka Korupsi BTS

[POPULER NASIONAL] PDI-P Siapkan 10 Nama Cawapres untuk Ganjar | Pengakuan Tersangka Korupsi BTS

Nasional
PKS Sebut Tiga Kandidat Cawapres Terkuat Anies: AHY, Khofifah, Aher

PKS Sebut Tiga Kandidat Cawapres Terkuat Anies: AHY, Khofifah, Aher

Nasional
Tanggal 2 Juni Memperingati Hari Apa?

Tanggal 2 Juni Memperingati Hari Apa?

Nasional
Hasil Sidang Etik: Polri Pecat Irjen Teddy Minahasa

Hasil Sidang Etik: Polri Pecat Irjen Teddy Minahasa

Nasional
ICW dkk Akan Surati Ketua MK soal KPU Beri Pengecualian Eks Terpidana Jadi Caleg

ICW dkk Akan Surati Ketua MK soal KPU Beri Pengecualian Eks Terpidana Jadi Caleg

Nasional
Ketika Anies Singgung Pihak yang Berkuasa untuk Selesaikan Tugasnya...

Ketika Anies Singgung Pihak yang Berkuasa untuk Selesaikan Tugasnya...

Nasional
Pengamat Sebut Video Ancaman KKB Tembak Pilot Susi Air sebagai Dampak Operasi Psikologis Pemerintah

Pengamat Sebut Video Ancaman KKB Tembak Pilot Susi Air sebagai Dampak Operasi Psikologis Pemerintah

Nasional
Paspor 8 WNI Korban Perusahaan 'Online Scam' di Laos Sudah Dikembalikan

Paspor 8 WNI Korban Perusahaan "Online Scam" di Laos Sudah Dikembalikan

Nasional
Soal Informasi MK Putuskan Proporsional Tertutup, Anggota DPR Singgung Kewenangan 'Budgeting'

Soal Informasi MK Putuskan Proporsional Tertutup, Anggota DPR Singgung Kewenangan "Budgeting"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com