Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jaksa KPK Tuntut Eks GM Hutama Karya 7 Tahun Penjara dan Rp 500 Juta

Kompas.com - 15/07/2019, 21:56 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya (Persero) Budi Rachmat Kurniawan tujuh tahun penjara.

Tuntutan dibacakan jaksa Haerudin dalam sidang tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (15/7/2019).

"Kami penuntut umum, menuntut, menyatakan terdakwa Budi Rachmat Kurniawan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri yang dilakukan secara bersama-sama," kata jaksa Haerudin.

Jaksa juga menuntut Rachmat membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu, Rachmat juga mesti membayar uang pengganti sekitar Rp 1 miliar. Jika tidak dibayar 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, hartanya akan disita dan dilelang.

Rachmat akan dihukum penjara selama 2 tahun 6 bulan apabila hartanya tidak mencukupi membayar uang pengganti tersebut.

Baca juga: Mantan GM PT Hutama Karya Didakwa Rugikan Negara Rp 56,9 Miliar

Hal-hal yang meringankan, terdakwa menyesali perbuatannya, bersikap jujur dan konsisten dalam menyampaikan keterangan, keterangan terdakwa membantu menemukan kebenaran dan menjelaskan masing-masing peran pelaku lainnya. Kemudian, terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan memiliki tanggungan keluarga

Sementara hal yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan untuk melakukan kejahatan.

Jaksa menganggap Budi merugikan negara sekitar Rp 56,9 miliar dalam dua proyek pembangunan gedung kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Menurut jaksa, Budi mengatur proses pelelangan sedemikian rupa untuk memenangkan PT Hutama Karya. Caranya dengan memasukkan arranger fee dalam komponen anggaran biaya lelang (ABL) untuk diberikan kepada pihak-pihak terkait pelelangan.

Selain itu, untuk kepentingan pribadi, Budi menandatangani kontrak, meski mengetahui adanya rekayasa dalam pelelangan. Terdakwa melakukan subkontrak pekerjaan utama tanpa persetujuan pejabat pembuat komitmen (PPK).

Kemudian, membuat pekerjaan fiktif untuk menutup biaya arranger fee, menerima pembayaran seluruhnya atas pelaksanaan pekerjaan, meski pelaksanaan pekerjaan belum selesai 100 persen atas pembangunan Kampus IPDN Provinsi Sumatera Barat di Kabupaten Agam.

Selain itu, hal serupa dilakukan dalam proyek pembangunan gedung kampus IPDN Provinsi Riau di Kabupaten Rokan Hilir pada Kementerian Dalam Negeri Tahun Anggaran 2011.

Menurut jaksa, perbuatan Budi memperkaya sejumlah orang dan korporasi, yakni memperkara diri sendiri sekitar Rp 1 miliar. Kemudian, memperkaya mantan pejabat Kemendagri Dudy Jocom sekitar Rp 5,3 miliar.

Kemudian, memperkaya mantan Senior Manager Pemasaran PT Hutama Karya Bambang Mustaqim sekitar Rp 500 juta. Selain itu, memperkaya pihak swasta bernama Hendra sekitar Rp 4 miliar.

Selanjutnya, memperkaya PNS pada Kemendagri Sri Kandiyati sekitar Rp 300 juta dan pejabat penandatangan SPM Mohammad Rizal sekitar Rp 510 juta. Kemudian, memperkaya Chaerul Rp 30 juta dan Sutidjan sebesar Rp 500 juta.

Berikutnya, memperkaya PT Hutama Karya Rp 40,8 miliar, memperkaya CV Prima Karya Rp 3,3 miliar. Kemudian, CV Restu Kreasi Mandiri Rp 265 juta dan PT Yulian Berkah Abadi sebesar Rp 79 juta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com