"Judul ini salah secara bahasa maupun konsep. Seharusnya agama tidak dapat menjadi subyek hukum, subyek hukum yang perlu dilindungi adalah penganut agama," ujar Isnur saat dihubungi Kompas.com, Selasa (2/7/2019).
Baca juga: Akademisi Nilai Delik Agama dalam RKUHP Tak Beri Kejelasan soal Korban
Isnur mengatakan, menempatkan agama sebagai subyek hukum akan menimbulkan persoalan karena agama tidak dapat mewakili dirinya sendiri dalam proses hukum.
Di sisi lain, ada beragam keyakinan atau tafsir keagamaan, bahkan di dalam satu agama.
Dengan begitu, kata Isnur, negara bisa disebut diskriminatif apabila hanya menggunakan satu tafsir agama sebagai dasar terkait tindak pidana terhadap agama.
"Mengingat adanya keragaman terkait keyakinan keagamaan, bahkan di dalam satu agama maka apabila negara mendengar dan mengambil satu tafsir agama artinya negara telah berlaku diskriminatif," kata Isnur.
Potensi munculnya praktik diskriminasi juga dinilai dapat muncul dari penggunaan kata yang multitafsir. Misalnya penggunaan kata penghinaan dalam pasal 313.
Pasal 313 menyatakan, "setiap orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V."
Isnur mengusulkan kata penghinaan diganti dengan kata siar kebencian untuk melindungi pemeluk agama dari kejahatan.
Baca juga: Survei Media: Isu Penistaan Agama Pengaruhi Persepsi Publik Terhadap Polisi
Menurut Isnur usul tersebut sejalan dengan Resolusi Dewan HAM PBB yang tak lagi menggunakan istilah penodaan agama, namun memerangi intoleransi.
"Resolusi ini diinisiasi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Dewan HAM PBB pada tahun 2011, dikarenakan penggunaan istilah 'penodaan agama' telah banyak memperoleh pertentangan dari berbagai negara," tutur dia.
Persoalan lain juga muncul pada Pasal 315. Pasal itu menyatakan, "setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Baca juga: Soal Penodaan Agama, Pemerintah dan DPR Dinilai Tidak Turuti Saran MK
Isnur menilai, kata hasutan bersifat multitafsir sehingga bisa menyasar pihak yang hanya melakukan ajakan untuk memeluk suatu agama.
"Pasal 315 memang tidak melarang orang untuk tidak beragama melainkan hasutannya. Masalahnya adalah kata hasutan multitafsir sehingga bisa menyasar orang yang hanya mengajak," ujar Isnur.
Ia pun menyoroti frasa 'meniadakan agama' yang dinilai dapat menimbulkan kerancuan, apakah dapat berarti seluruh agama atau hanya satu agama.
Baca juga: Pasal Penodaan Agama di RKUHP Diperluas
Selain itu, kata Isnur, tidak jelas pula maksud meniadakan agama, apakah meniadakan agama pada satu orang saja atau secara luas.
"Meniadakan juga multitafsir apakah maksudnya pada satu orang atau untuk meniadakannya sama sekali dari bumi Indonesia," kata dia.
Sementara, Pasal 316 tentang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung juga menjadi sorotan.
Baca juga: Pasal Penodaan Agama di RKUHP Dinilai Bisa Memicu Kasus Persekusi
Kata "gaduh" dapat menjadi multitafsir karena tidak dijelaskan secara jelas sebesar apa suara sehingga dapat dikatakan gaduh.
"Alih-alih menyelesaikan atau mencegah kejahatan serta konflik, justru semakin membuka ruang memperkuat diskriminasi, konflik dan melegitimasi tindakan intoleransi di tengah masyarakat. Terlihat bahwa semangat membatasi daripada menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan menjadi pendekatan utama," ucap Isnur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.