Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

4 Keterangan Saksi dan Ahli 01 dalam Sidang MK...

Kompas.com - 22/06/2019, 09:37 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mendengarkan keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh Kuasa Hukum paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Pemeriksaan dilakukan melalui sidang sengketa hasil pilpres yang digelar pada Jumat (21/6/2019), yang dihadiri pula oleh pihak pemohon dalam hal ini Tim Hukum paslon 02, pihak termohon yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Sebagai pihak terkait, Kuasa Hukum 01 menghadirkan dua orang saksi dan dua orang ahli.

Banyak hal penting dan menarik yang disampaikan oleh saksi dan ahli dalam persidangan. Berikut rangkumannya...

1. Saksi Prabowo-Sandi tak pernah ajukan sengketa hasil suara saat rapat pleno

Chandra Irawan, saksi Jokowi-Ma'ruf yang mengikuti rapat pleno penetapan suara pemilu di KPU, memberikan keterangan dalam sidang sengketa pilpres.

Chandra menyebutkan, selama proses rekapitulasi suara di tingkat pusat, saksi Prabowo-Sandi tidak pernah menyatakan keberatan soal hasil perolehan suara.

Awalnya, Chandra ditanya oleh Kuasa Hukum 02 soal proses rekapitulasi tingkat pusat untuk Provinsi Papua.

Baca juga: BPN Sesalkan Saksi 01 Tidak Cuti Saat Rapat Pleno KPU

Ia kemudian menyebut bahwa saat pembacaan hasil rekap pilpres provinsi tersebut tak memakan waktu lama.

Kuasa Hukum Prabowo-Sandi lantas bertanya soal ada tidaknya sengketa perolehan suara.

"Terhadap perolehan suara yang saudara sebutkan tadi itu, adakah sengketa terhadap perolehan suara itu kalau ada bagaimana yang saudara ketahui penyelesaiannya," tanya Chandra.

"Kalau saya, di setiap tahapan rekap tidak ada sengketa yang terkait dengan hasil suara. Beberapa hal yang disampaikan oleh saksi 02 yang terkait dengan hal-hal yang di luar soal hasil perolehan suara," ujar Candra.

Persidangan berlanjut, Ketua Bawaslu Abhan juga mengatakan hal serupa.

Baca juga: KPU Sebut Pernyataan Saksi 02 soal Amplop Tak Sesuai Fakta

Ia mengatakan, selama rekapitulasi suara tingkat nasional tidak pernah ada masalah dalam hal rekapitulasi suara pilpres.

Sejumlah dinamika yang terjadi selama rekap bukan tentang rekap suara pilpres.

"Terkait rekapitulasi nasional, ada beberapa dinamika terkait dengan misalnya di Papua, kemudian di Kalbar, tetapi persoalan itu adalah mengenai rekapitulasi perolehan suara partai politik maupun antar caleg dalam satu partai politik," kata Abhan.

Hakim MK Manahan Sitompul lantas kembali bertanya bahwa masalah yang terjadi tidak berkaitan dengan sengketa hasil pilpres.

"Jadi bukan masalah pilpres ya?" tanya Manahan.

"Ketika Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (PPWP) nggak ada hal yang sampai dinamika kemudian sampai skorsing dan sebagainya," ujar Abhan.

2. Penjelasan saksi soal istilah "Kecurangan Bagian dari Demokrasi"

Koordinator bidang pelatihan di Direktorat Saksi Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Anas Nasikin, ikut menjadi saksi persidangan.

Nasikin mengaku sebagai salah satu pembicara dalam training of trainer atau pelatihan bagi saksi pemilu yang digelar TKN pada 20 Februari dan 21 Februari 2019 di Jakarta.

Adapun materi pelatihan yang disampaikan Nasikin pada saat itu menyebut soal istilah kecurangan bagian dari demokrasi.

"Materi ini mesti dipahami secara utuh. Kalau dilihat di slide berikutnya, itu sengaja mengagetkan untuk menarik perhatian peserta. Kecurangan itu niscaya. Kami tidak tuduh siapa pun, tapi kami perlu mengantisipasinya," kata Nasikin.

Baca juga: Ahli Hukum: Kecurangan Harus by Intention, Bukan karena Kealpaan

Menurut Nasikin, berkaca pada pemilu sebelumnya, kecurangan hampir selalu terjadi pada setiap pemilu. Ia mengatakan, TKN tidak menuduh siapa pun melakukan kecurangan.

Namun, pada Pemilu 2019 kecurangan itu perlu diantisipasi oleh seluruh peserta pelatihan. Nasikin membantah jika istilah itu mengajarkan agar peserta melakukan kecurangan.

"Kalau Anda lihat di slide, kami menjelaskan detail tahapan mana yang sering terjadi kecurangan. Tujuannya untuk antisipasi," kata Nasikin yang merupakan tenaga ahli Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPR itu.

Dalam kesaksiannya, Anas mengakui pihaknya membenarkan beberapa poin materi yang disampaikan dalam pelatihan saksi. Salah satunya, soal dukungan dari kepala daerah.

Awalnya, anggota tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Iwan Satriawan mengonfirmasi enam poin materi kepada Anas.

Pertama soal posisi politik petahana yang memungkinkan kapitalisasi semua aspek kebijakan pemerintah termasuk menggambarkan langkah-langkah solutif untuk sektor yang lemah.

Baca juga: Ahli: Tim Hukum Prabowo-Sandiaga Tak Dapat Buktikan Kecurangan TSM

Kemudian, Iwan bertanya mengenai satu poin materi yang disampaikan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto terkait dukungan kepala daerah kepada pasangan Jokowi-Ma'ruf.

"Dalam satu slide yang disampaikan oleh Hasto ada pernyataan, Pulau Sumatera harus ditaklukkan dengan menggunakan kepala daerah yang sudah menyatakan mendukung terutama di Sumbar, Riau dan Sumsel. Mereka perlu diberikan support logistik dan akses ke aparat yang real dalam dua bulan ke depan," tanya Iwan.

"Benar ini?" ucapnya.

"Benar. Tapi nanti saya memberikan konteks pada slide yang ada," jawab Anas.

3. Ahli kritik "link" berita yang dijadikan alat bukti kubu Prabowo

Ahli yang dihadirkan Kuasa Hukum 01, Eddy OS Hieariej, menyinggung alat bukti berupa link berita yang digunakan oleh Kuasa Hukum paslon 02.

Ia menganjurkan Kuasa Hukum 02 untuk tak mengajak MK menjadi 'mahkamah kliping' atau 'mahkamah koran' dengan adanya alat bukti berupa link berita tersebut.

"Ada yang benar dikemukakan Kuasa Hukum pemohon, bahwa MK bukan 'mahkamah kalkulator', hanya terkait perselisihan hasil penghitungan suara," kata Eddy.

Baca juga: Pengacara KPU: Bukti Link Berita 02 Tidak Sah

"Namun hendaknya juga MK jangan diajak untuk menjadi 'mahkamah kliping' atau 'mahkamah koran' yang pembuktiannya hanya didasarkan pada kliping, koran atau potongan berita," lanjut dia.

Eddy menyebutkan, bukti yang dibawa Kuasa Hukum Prabowo-Sandi berupa link berita tidaklah relevan.

Seharusnya, Kuasa Hukum bisa menghadirkan saksi yang relevan dalam persidangan, sehingga Majelis Hakim dapat menggali keterangan dari saksi tersebut.

Selanjutnya, keterangan dari saksi ini bisa digunakan Majelis Hakim sebagai petunjuk untuk membuktikan tudingan.

Baca juga: MK Bukan Mahkamah Kalkulator, Jangan Juga Jadikan Mahkamah Kliping

Dalam hal tudingan tentang adanya aparat intelijen yang tidak netral dalam pemilu, Eddy menyebut, Kuasa Hukum 02 seharusnya menghadirkan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sidang.

SBY perlu menjelaskan siapa oknum intelijen yang tidak netral, apa tindakan oknum intelijen tersebut, dan apa dampak tindakannya terhadap perolehan suara dalam pemilihan presiden.

"Bukan berita tentang tidak ketidaknetralan oknum BIN, TNI, dan Polri yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," kata Eddy.

"Namun dalam rangka mencari kebenaran materil yang selalu didengung-dengungkan kuasa hukum pemohon, kuasa hukum pemohon harus bisa menghadirkan Presiden RI keeenam SBY di MK sebagai saksi," lanjut dia.

4. MK dinilai tak punya kewenangan diskualifikasi capres-cawapres

Eddy OS Hiraej dalam keterangannya juga mengatakan, MK tak memiliki kewenangan untuk mendiskualifikasi pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hal itu dia ungkapkan dalam menanggapi dalil permohonan tim kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang meminta MK mendiskualifikasi pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin karena dituduh melakukan kecurangan selama Pilpres 2019.

"Kuasa hukum pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasikan pasangan calon 01. Dari mana Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mendiskualifikasikan pasangan calon presiden dan wakil presiden?" ujar Eddy.

Baca juga: Ahli Sebut MK Tak Punya Kewenangan Diskualifikasi Capres-Cawapres

Eddy mengatakan, berdasarkan UUD 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Terkait perselisihan hasil pemilu, kata Eddy, kewenangan MK hanya terhadap kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU dan hasil perhitungan yang benar menurut pemohon.

Eddy menilai, dalam dalil permohonannya, tim hukum Prabowo-Sandiaga justru mempersoalkan hal lain di luar kewenangan MK.

"Dengan demikian secara mutatis mutandis, Fundamentum Petendi (dasar hukum) yang dikonstruksikan oleh Kuasa Hukum Pemohon seharusnya berkaitan dengan hasil perhitungan suara," kata dia.

Dengan usainya persidangan pada Jumat (21/6/2019), MK juga telah selesai melakukan pemeriksaan perkara hasil pilpres.

Selanjutnya, Mahkamah akan mempelajari, melihat, meneliti alat-alat bukti serta dalil dan argumen yang telah disampaikan selama persidangan.

Menurut jadwal, MK akan memutuskan sengketa pilpres pada Jumat (28/6/2019).

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Jadwal Sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com