Kang Prasojo, seorang pedagang kecil di Jawa mampu untuk bertahan di tengah beratnya persaingan usaha tanpa konsepsi ekonomi pasar yang canggih, seperti penetrasi pasar, diversifikasi produk, dan lain-lain.
Ketika hari-hari ini dunia dihebohkan dengan tren "Post-Truth", saya kembali teringat Mas Bob.
Saya sibuk menebak-nebak bagaimana penjelasan Mas Bob atas kecenderungan aneh ini, ketika keyakinan lebih menjadi penentu ketimbang data dan fakta. Ketika kebenaran menjadi relatif dan lebih banyak dikendalikan oleh opini yang meyakinkan.
Mas Bob inilah yang sukses menampilkan sosok dosen yang humanis dan egaliter di mata mahasiswa.
Hampir semua teman-teman, baik yang serius kuliah, maupun yang lebih serius nongkrong di kantin, merasa sayang kalau melewatkan kuliahnya Mas Bob.
Ini yang ajaib karena Mas Bob mampu untuk membuat kami mulai haus ilmu daripada sekedar soal absensi saja.
Mas Bob membuat kami mulai asik berlomba untuk pamer penguasaan teori untuk menjelaskan berbagai fenomena sehari-hari.
Mas Bob inilah yang membuat saya tiba-tiba memutuskan ingin menjadi dosen. Gaya berceritanya asik dan kaya analogi. Selalu mampu membumikan teori.
Referensi pilihan teori sangat menarik dan selalu aktual. Enak diajak diskusi dan selalu ada waktu untuk mahasiswa.
Tak akan pernah saya lupakan, suatu hari di tahun 2000, kata-kata lirih Mas Bob kepada saya ketika saya memutuskan untuk pindah mengajar dari Unpar ke Paramadina.
"Bima, what can I do to make you stay? Sebagai kolega, saya senang Bima bisa mengajar di Paramadina, tapi sebagai sahabat saya akan kehilangan".
Ketika saya memutuskan untuk terjun ke dunia politik kepartaian, di luar dugaan saya, Mas Bob sangat mendukung.
Kata Mas Bob, "Baik untuk memperkecil jurang yang lebar antara pendidikan politik di kampus dan kenyataan."
Ini Mas Bob banget, selalu terobsesi membumikan dan mengawinkan teori dengan realita keseharian.
Dua hal pesan Mas Bob kepada saya, kaitkan selalu politik dengan moralitas. Kebanyakan politisi tidak banyak paham soal nilai.