Kebanyakan hanya sibuk urusi kulitnya saja. Padahal, ini masih kata Mas Bob, inti dari politik adalah moralitas.
Memang tak mudah, kata Mas Bob. Pakailah wisdom dengan kombinasi. Kalau dipakai terus menerus tidak mungkin, bisa frustrasi. Tapi pastikan selalu ada momentum dimana idealisme menuntun kita untuk membuat keputusan terbaik. Inilah yang kemudian sering saya istilahkan dengan "ambang batas toleransi".
Setiap politisi harus bisa menentukan batas-batas di mana hati bisa berkompromi atas setiap fenomena politik yang tak sesuai dengan idealisme.
Terlalu longgar batasnya akan jadi pemain politik, tapi terlalu ketat batasnya besar kemungkinan akan terpental cepat dari pusaran politik.
Pesan kedua Mas Bob adalah jangan pernah diwarnai politik, jangan sampai politik mewarnai kita.
Kita yang harus mewarnai politik dengan idealisme dan ilmu kita. Pesan yang lagi-lagi amat berat.
Saya sedih, sangat sedih. Bukan hanya karena kehilangan sosok idola, guru dan sumber inspirasi utama selain ayah saya.
Saya sedih karena tak sempat lagi bertanya kepada mas Bob. Ingin rasanya saya bertanya, "Mas Bob, apa iya kisruhnya pentas politik Indonesia itu karena para free rider, penumpang gelap yang berselancar menunggangi era Post-Truth, pasca-kebenaran?"
"Terus, apa yang bisa dilakukan para akademisi atau akademisi yang jadi politisi seperti saya, Mas?"
Tapi kemudian saya sadar bahwa saya tak perlu sedih karena memang jawabannya ada di nasihat mas Bob pada saya. Dekatkankah moralitas dengan politik dan warnailah politik.
Terima kasih, Mas Bob. Kami para muridmu pasti akan merindukanmu. Selamat jalan guruku.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.