Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Peristiwa Dibunuhnya Aktivis Buruh Marsinah...

Kompas.com - 09/05/2019, 14:37 WIB
Aswab Nanda Prattama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Bulan Mei identik dengan buruh, terutama perayaan Hari Buruh Internasional yang dilakukan setiap tanggal 1 Mei. Setelah era Reformasi bergulir, para buruh memang memiliki ruang lebih besar untuk menyuarakan aspirasinya, termasuk turun ke jalan.

Kondisi saat ini tentu jauh berbeda dengan era Orde Baru yang begitu represif terhadap gerakan buruh. Saat itu, begitu sulit untuk melakukan demonstrasi, karena langsung mendapatkan penindakan tegas dari aparat keamanan.

Pada 1980-an, Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) Nomor 02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 342/Men/1986.

Soeharto menggunakan aturan ini untuk mengendalikan dan memantau aktivitas buruh di Indonesia. Otomatis, aparat keamanan memiliki kewenangan untuk menertibkan para buruh yang melakukan perlawanan kepada pemilik perusahaan.

Salah satu korban dari aturan ini adalah buruh perempuan bernama Marsinah. Berawal saat perempuan asal Nganjuk ini memprotes ketidakadilan di tempatnya bekerja.

Aksi Marsinah untuk menyuarakan haknya ternyata berdampak buruk. Dia hilang lantaran diculik oleh sekelompok orang, hingga kemudian mayatnya ditemukan di hutan di dusun Jegong, desa Wilangan, Nganjuk pada 8 Mei 1993.

Baca juga: Puisi dan Doa Buruh di Bandung untuk Marsinah

Merasakan ketidakadilan

Marsinah bekerja pada sebuah pabrik milik PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Dia juga merupakan aktivis dalam organisasi buruh SPSI unit kerja PT CPS.

Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 10 November 1993, sebelumnya dia menyuarakan aksi keprihatinan karena merasa kerap diperlakukan tidak adil oleh pihak pimpinan perusahaan.

Pada waktu iru, buruh di PT CPS digaji Rp 1.700 per bulan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Keputusan Menteri 50/1992 yang menunjukan UMR Jawa Timur adalah Rp 2.250.

Marsinah yang terkenal vokal kemudian berunjuk rasa menuntut kenaikan upah pada 4 Mei 1993. Marsinah tampil dengan sederet argumentasi yang merepotkan pimpinannya.

Bahkan, Marsinah dengan lantang menentang permintaan Direktur PT CPS agar pekerja itu bekerja seperti biasanya. Dia bersama teman-temannya melakukan aksi mogok kerja.

"Tak usah kerja," salah satu kata yang terucap dari Marsinah ketika unjuk rasa.

Baca juga: Peringati Hari Buruh, Jurnalis di Kediri Lakban Mulut hingga Ziarah Makam Marsinah

Rapat membunuh Marsinah

Melihat aksi Marsinah, pimpinan perusahaan membuat rencana untuk menghilangkan nyawanya. Untuk mempermudah konspirasi jahat itu, diketahui ada serangkaian rapat yang dilakukan.

Pihak perusahaan menilai Marsinah terlalu vokal dan menjadi biang aksi unjuk rasa.

Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 19 November 1993, rapat dilaksanakan di ruang ukuran 8 x 8 meter tempat kerja direktur CPS cabang Porong.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com