Salin Artikel

Mengenang Peristiwa Dibunuhnya Aktivis Buruh Marsinah...

Kondisi saat ini tentu jauh berbeda dengan era Orde Baru yang begitu represif terhadap gerakan buruh. Saat itu, begitu sulit untuk melakukan demonstrasi, karena langsung mendapatkan penindakan tegas dari aparat keamanan.

Pada 1980-an, Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) Nomor 02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 342/Men/1986.

Soeharto menggunakan aturan ini untuk mengendalikan dan memantau aktivitas buruh di Indonesia. Otomatis, aparat keamanan memiliki kewenangan untuk menertibkan para buruh yang melakukan perlawanan kepada pemilik perusahaan.

Salah satu korban dari aturan ini adalah buruh perempuan bernama Marsinah. Berawal saat perempuan asal Nganjuk ini memprotes ketidakadilan di tempatnya bekerja.

Aksi Marsinah untuk menyuarakan haknya ternyata berdampak buruk. Dia hilang lantaran diculik oleh sekelompok orang, hingga kemudian mayatnya ditemukan di hutan di dusun Jegong, desa Wilangan, Nganjuk pada 8 Mei 1993.

Merasakan ketidakadilan

Marsinah bekerja pada sebuah pabrik milik PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Dia juga merupakan aktivis dalam organisasi buruh SPSI unit kerja PT CPS.

Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 10 November 1993, sebelumnya dia menyuarakan aksi keprihatinan karena merasa kerap diperlakukan tidak adil oleh pihak pimpinan perusahaan.

Pada waktu iru, buruh di PT CPS digaji Rp 1.700 per bulan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan Keputusan Menteri 50/1992 yang menunjukan UMR Jawa Timur adalah Rp 2.250.

Marsinah yang terkenal vokal kemudian berunjuk rasa menuntut kenaikan upah pada 4 Mei 1993. Marsinah tampil dengan sederet argumentasi yang merepotkan pimpinannya.

Bahkan, Marsinah dengan lantang menentang permintaan Direktur PT CPS agar pekerja itu bekerja seperti biasanya. Dia bersama teman-temannya melakukan aksi mogok kerja.

"Tak usah kerja," salah satu kata yang terucap dari Marsinah ketika unjuk rasa.

Rapat membunuh Marsinah

Melihat aksi Marsinah, pimpinan perusahaan membuat rencana untuk menghilangkan nyawanya. Untuk mempermudah konspirasi jahat itu, diketahui ada serangkaian rapat yang dilakukan.

Pihak perusahaan menilai Marsinah terlalu vokal dan menjadi biang aksi unjuk rasa.

Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 19 November 1993, rapat dilaksanakan di ruang ukuran 8 x 8 meter tempat kerja direktur CPS cabang Porong.

Rapat dilaksanakan pada 5 Mei 1993 dengan dihadiri beberapa orang petinggi dan satpam perusahaan. Pihak direktur CPS merencanakan pembunuhan kepada Marsinah, dan direktur juga mengancam peserta yang datang untuk rapat itu untuk tutup mulut dan melaksanakan perintahnya.

Apabila rencana itu tak dilaksanakan, pihak direktur akan memberikan pemutusan hubungan kerja kepada yang bersangkutan.

Untuk menindaklanjuti perintah direktur utama PT CPS pada rapat pertama, kemudian dilangsungkan rapat kedua di tempat sama, yang dipimpin direktur PT CPS cabang Porong.

Pada rapat kedua ini direncanakan pembagian tugas rencana menghilangkan nyawa Marsinah, dari orang yang menjemput dan menghilangkan jejak pembunuhan dengan mayat korban dibuang di kawasan daerah Nganjuk.

Dapat Yap Thiam Hien Award

Forum Solidaritas Buruh (Forsol) mengusulkan Marsinah untuk mendapatkan Yap Thiam Hien Award, suatu penghargaan bagi pejuang hak asasi manusia.

Menurut Forsol, Marsinah merupakan simbol perjuangan kaum buruh. Dia gigih membela buruh dan tewas dalam perjuangan. Selain itu Marsinah tidak saja mewakili perlawanan buruh atas kemelaratan dan aparat yang menindasnya, sekaligus merupakan realitas ketidakberdayaan kaum buruh.

Usul ini kemudian disampaikan kepada Direktur Yapusham atau Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia pada bulan September 1993.

Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 30 November 1993, akhirnya Almarhumah Marsinah mendapatkan penghargaan tersebut.

Terdapat lima orang nominator untuk penerima penghargaan ini, yaitu Dr Adnan Buyung Nasution SH (Ketua Dewan Pengurus YLBHI), Hendardi (Direktur Komunikasi dan Program Khusus YLBHI), Cheppy Sudradjat (tokoh petani Rancamaya), LBH Irian Jaya, dan Marsinah.

Marsinah ditetapkan sebagai penerima Yap Thiam Hien Award setelah Dewan Juri sepakat dengan keputusan itu.

Beberapa pertimbangan ditetapkannya Marsinah sebagai penerima penghargaan adalah, dia merupakan sosok buruh yang konsisten pada perjuangannya.

Ia seorang perempuan kelas pekerja yang punya keberanian luar biasa, dan telah mengorbankan nyawanya demi perjuangan buruh. Karena itu dia pantas menyandang predikat pejuang hak asasi manusia.

https://nasional.kompas.com/read/2019/05/09/14374201/mengenang-peristiwa-dibunuhnya-aktivis-buruh-marsinah

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke