JAKARTA, KOMPAS.com - Pengembangan kasus dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1 terus berjalan.
Pada Selasa (23/4/2019), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir menjadi tersangka.
Sofyan menambah daftar nama yang terjerat dalam kasus ini.
Sebelumnya, KPK sudah menjerat empat orang. Sofyan adalah orang kelima yang dijerat KPK dalam kasus ini.
Baca juga: 8 Fakta Sidang Seputar Keterlibatan Dirut PLN Sofyan Basir dalam Dugaan Suap
Keempat orang yang terjerat sebelumnya adalah mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, mantan Sekjen Golkar Idrus Marham, dan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited.
Pada pengembangan sebelumnya, KPK juga sudah menjerat pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan.
Berikut perjalanan kasus PLTU Riau 1:
1. Berawal dari OTT
Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Jumat (13/7/2018).
Saat itu, KPK mengidentifikasi adanya penyerahan uang dari Audrey Ratna Justianty kepada Tahta Maharaya di lantai 8 gedung Graha BIP.
Audrey merupakan sekretaris Johannes Budisutrisno Kotjo. Sedangkan Tahta adalah staf sekaligus keponakan Eni Maulani Saragih.
Diduga, suap diberikan agar proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1 berjalan mulus.
Baca juga: Jadi Tersangka, Sofyan Basir Diduga Menerima Janji Fee Terkait Proyek PLTU Riau-1
KPK mengamankan Tahta di parkir basement gedung Graha BIP beserta barang bukti uang Rp 500 juta.
Setelah itu, KPK mengamankan Audrey beserta barang bukti berupa dokumen tanda terima uang yang telah diserahkan kepada Tahta.
Selain Audrey, KPK juga mengamankan Johannes yang sedang berada di ruang kerjanya.
Sementara itu, tim KPK lainnya mengamankan Eni bersama sopirnya di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham, Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan.
KPK juga mengamankan pihak lainnya, seperti seorang staf Eni di Bandara Soekarno-Hatta dan suami Eni, Muhammad Al-Khadziq.
2. Jerat Eni dan Kotjo
Eni divonis 6 tahun penjara oleh majelis hakim. Politisi Golkar itu juga diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.
Hakim juga mencabut hak Eni karena telah mencederai amanat anggota DPR sebagai wakil rakyat.
Baca juga: KPK Tidak Ajukan Banding atas Vonis Eni Maulani
Pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun setelah Eni selesai menjalani pidana pokok.