JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menilai, penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet, merupakan ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi.
Peneliti ICJR Sustira Dirga mengatakan, kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin UUD 1945 Amandemen ke II, yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2).
Sementara, Pasal 28 E ayat (3) secara eksplisit menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat.
Pasal 22 ayat (3) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM secara lebih dalam mengatur tentang kebebasan berekpresi yang secara internasional juga dijamin Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 tahun 2005.
Baca juga: Klarifikasi Lengkap Robertus Robet soal Nyanyiannya dalam Aksi Kamisan yang Kini Diperkarakan
"Apa yang dilakukan Robertus Robet telah secara tegas didukung oleh konstitusi, pengekangan terhadap hak itu adalah pelanggaran hukum serius serta mencederai amanat konstitusi," kata Sustira Dirga melalui keterangan tertulis, Kamis (7/3/2019).
Baik ICJR maupun LBH menilai, penjeratan Robertus Robet dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait ujaran kebencian sangat tidak masuk akal.
Menurut kedua lembaga ini, Robet menyanyikan lagu yang dipersoalkan dalam Aksi Kamisan pada 28 Februari 2019, bukan melalui media elektronik.
Secara subtansi, rumusan Pasal 28 ayat 2 UU ITE memiliki kesamaan norma dengan rumusan dalam KUHP, khususnya tentang tindak pidana ujaran kebencian, sebagaimana tercantum dalam Pasal 156 KUHP.
Kedua aturan itu memiliki syarat kuat bahwa perbuatan ujaran kebencian itu harus bersifat propaganda dan penghasutan, bukan sekadar “penghinaan” atau “tuduhan”.
Baca juga: Kronologi Penangkapan Aktivis HAM Robertus Robet...
Baik UU ITE maupun KUHP mendasarkan pidana ini pada perbuatan berbasis SARA dan atau golongan dalam masyarakat.
Sementara, pejabat pemerintah maupun lembaga negara tidak masuk dalam kategori ini.
"Pemaksaan penggunaan pasal ini adalah upaya kriminalisasi pada Robertus Robet," ujar Sustira.
Ia menilai, menjerat Robertus Robet dengan pasal tentang berita bohong atau Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tidak tepat.
Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 15 berisi tentang pidana menyiarkan berita dan pemberitaan bohong, mempidana perbuatan dengan 3 unsur penting, yaitu harus ada berita dan pemberitaan di mana ujaran itu harus memiliki informasi di dalamnya, kedua, ada unsur keonaran di masyarakat, ketiga, patut menduga bahwa berita dan atau pemberitaan itu bohong.
Baca juga: PSI Minta Polisi Bebaskan Robertus Robet dari Segala Tuduhan Pidana
"Keonaran masyarakat" dalam penjelasan pasal itu adalah lebih hebat daripada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya.