Sementara itu, rencana restrukturisasi akan menempatkan perwira TNI ke dalam struktur birokrasi di kementerian/lembaga. Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI menyatakan, prajurit aktif dapat menempati 10 kementerian/lembaga.
Kesepuluh kementerian/lembaga tersebut membidangi koordinator Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Negara, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik Nasional dan Mahkamah Agung.
"Toh itu bukan ke politik. Kalau dwifungsi itu kekuatan hankam dan kekuatan politik," kata Sisriadi.
Baca juga: Kapuspen: Tak Ada Hubungan Rencana Restrukturisasi TNI dengan Dwifungsi ABRI
Lebih lanjut ia mengatakan, penerapan dwifungsi saat ini justru tidak menguntungkan bagi TNI secara kelembagaan. Sebab TNI akan kembali dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan.
"Dan memang kami tahu persis kok. Dwifungsi lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya dan saya kira masyarakat seharusnya bisa melihat bahwa demokrasi kita terbangun karena keikhlasan TNI," ucap Sisriadi.
Sisriadi mengatakan, pada zaman Orde Baru, konsep dwifungsi bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Saat itu, TNI digumakan sebagai alat kekuasaan.
Baca juga: Kapuspen TNI: Dwifungsi ABRI Lebih Banyak Mudaratnya
Ia memastikan bahwa saat ini TNI tidak memiliki niat untuk menghidupkan kembali dwifungsi ABRI.
"Kita semua tahu lah. Jadi kita lihat akibatnya kehancuran. Jadi itu mudarat sebenarnya. Nah kita tidak ingin kontribusi negatif lagi kan dan semua orang pasti tidak ingin," kata dia.
"Di TNI tidak ada (menghidupkan dwifungsi) untuk kembali ke situ. Yang pertama tentu kami butuh doktrin. Tidak pernah ada doktrin seperti itu," tutur dia.
Menurut Sisriadi, TNI secara kelembagaan tengah mengalami persoalan. Jumlah perwira menengah dan perwira tinggi mengalami kelebihan. Akibatnya, banyak perwira tinggi dan menengah TNI yang tak mendapat jabatan.
Hal itu menjadi alasan TNI berencana melakukan restrukturisasi.
"Kelebihan yang sekarang ini memang butuh pemecahan jangka pendek," ujar Sisriadi.
Baca juga: Kapuspen: Aturan soal Keputusan Politik Negara dalam UU TNI Perlu Diperjelas
"Sekarang ini ada kelebihan kolonel sekitar 500 orang, kelebihan perwira tinggi sampai 150 orang. Memang sekarang butuh pemecahan," kata dia.
Sisriadi mengatakan, TNI memang mengalami masalah teknis pengelolaan sumber daya. Persoalan itu muncul sejak disahkannya Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
Dalam UU TNI terdapat perubahan usia pensiun dari 55 tahun menjadi 58 tahun.