HISTERIA permintaan selfie Imas dengan Sandi, atau Ilyas yang berlumur lumpur, hingga Jan Ethes yang jadi viral, menjadi tiga aksi perdana yang masif di bahas massa.
Tak hanya peristiwanya, tapi apa yang terjadi di belakangnya justru ramai dibicarakan. Tak kurang pula, hasil "verifikasi" ala netizen menjadi bumbu tersendiri.
Peristiwa pertama terjadi pada akhir Januari lalu. Saat itu Instagram Sandiaga Uno diisi oleh unggahan kegiatan-kegiatannya di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Salah satu unggahan menggambarkan seorang emak histeris meminta selfie dengan Sandi. Begitu kuatnya peristiwa hingga memancing ribuan warganet bereaksi. Video seorang emak histeris ini bahkan sudah dilihat lebih dari 1,7 juta akun.
Ada yang iba dengan sang ibu, salut dengan Sandi, hingga mencerca dan mencari foto lain dari Sang Emak.
Singkat cerita didapatlah foto Si Emak beberapa bulan sebelumnya sempat berselfie dengan Sandi meski bukan dalam kondisi bersebelahan melainkan Sandi di panggung, sementara si Emak di barisan paling depan deket panggung. Belakangan diketahui namanya adalah Imas Siti Masitoh.
Tak berhenti sampai di sini, warganet juga mendapatkan bahwa Imas ternyata adalah kader Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Pendukung Prabowo-Sandi.
Warganet yang kontra mengatakan, tangisan Imas adalah Sandiwara yang di-setting untuk menunjukkan kecintaan warga terhadap Sandi yang kemudian diunggah di Instagram-nya.
Sementara yang pro sebaliknya, menanyakan apa yang salah jika ada permintaan selfie yang belum pernah sedekat sebelumnya.
Peristiwa kedua adalah saat Ilyas, korban banjir warga Makassar, Sulawesi Selatan, yang mendatangi Sandi dengan tubuh bagian depan berlumur lumpur. Seolah dramatis foto yang beredar.
Namun, belakangan beredar foto dari sisi yang lain. Ada yang memotret Ilyas dari belakang. Terlihat, punggungnya bersih, tak ada lumpur.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto sampai berkomentar bahwa hal tersebut adalah Sandiwara Jilid II, "Rakyat akan melihat mana yang tangisan beneran, mana lumpur kerja keras dan mana lumpur polesan itu. Rakyat melihat jadi politik panggung sandiwara banyak diciptakan," ujar Hasto (29/1/2019).
Tak lagi soal Sandi, kini soal Jokowi. Belakangan memang sering diperlihatkan kemunculan Jokowi bersama keluarganya. Tak kurang cucu pertamanya, Jan Ethes, juga ada dalam video yang kerap diunggah di media sosial.
Video Jokowi bersama Ethes viral dan mengundang banyak komentar. Di antaranya adalah Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW). Melui akun Twitter-nya, Sabtu (26/1/2019), Hidayat menulis,
"Ini Jan Ethes yg pernah sebut @jokowi, kakeknya, sbg 'Artis' ya? Tapi bgmn kalau ini jadi legitimasi pelibatan anak2 dlm kampanye? Bgmn @bawaslu_RI masih bisa berlaku adil kah?"
Twit Hidayat pun langsung ramai. Usut punya usut, pelibatan Jan Ethes dalam vlog yang kemudian viral adalah strategi Koordinator Relawan Tim Cakra 19 yang dikomandani Andi Widjajanto, mantan Menteri Sekretaris Kabinet di awal Jokowi menjabat presiden.
Kepada program AIMAN yang akan tayang pada 4 Februari 2019, pukul 20.00 WIB, Andi mengatakan video Jokowi dengan cucu pertamanya, Jan Ethes, akan semakin sering diunggah.
"Ini bukan merupakan kampanye, karena tidak ada unsur kampanye, seperti nomor urut atau ajakan memilih di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa pemimpin itu tak sekadar visi, misi, dan program kerja, tapi juga kesatuan dalam keluarga!" kata Andi.
Pertanyaannya, seberapa penting model "kampanye" yang memasarkan kegiatan bersifat humanis di atas?
Seberapa berpengaruh kampanye model ini? Adakah dampak negatifnya jika diketahui bahwa apa yang ditampilkan dalam “kampanye” ini tidak orisinil?
Mengapa banyak dari kontestan yang menggunakan model seperti ini dalam berkomunikasi dengan massa?
Jawabannya ada di jumlah pemilih bimbang (undecided voters dan swing voters) yang belum dan bisa mengubah pilihan. Jumlahnya sekitar 44 persen (Litbang Kompas, Oktober 2018).
Justru para pemilih banyak melihat hal-hal di luar substansi yang terkesan receh dan remeh temeh untuk dijadikan dasar memilih di saat-saat akhir.
Kemenangan Jokowi pada 2014, yang paling diingat saat itu, bisa jadi bukan karena kinerjanya di Solo yang tak terlalu banyak terekspos selain pemindahan PKL dengan damai, apalagi kiprahnya sebagai gubernur DKI Jakarta yang masih sangat singkat.
Survei exit poll Litbang Kompas pasca-Pilpres 2014 mendapatkan, Jokowi dipilih karena sosok humanis yang dikampanyekan, yakni sederhana dan anti-korupsi.
Cerita tentang Sandi dan Jokowi di atas menjadi penting buat pemilih menentukan pilihan, bisa jadi lebih penting dari isu di balik rekayasa atau orisinil.
Menjaring suara tidak hanya soal menyentuh aspek kognitif atau rasionalitas pemilih, tapi yang lebih penting adalah menyentuh sisi afektif pemilih. Siapakah yang berhasil mencuri “hati” masyarakat di bilik suara?
Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandi?
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!