Semua tuntutan itu merupakan refleksi bagaimana Indonesia mencoba mengatasi berbagai masalah yang telah mendera partisipasinya di KF-X sejak Korea Selatan mencanangkannya sebagai program pesawat tempur generasi 4,5 dengan kemampuan melampaui pesawat tempur non-stealth lain di pasaran tetapi masih di bawah F-35.
Korea Selatan menganggap KF-X sebagai sarana meningkatkan kemampuan teknologi dirgantara yang sebelumnya telah diasah melalui pengembangan pesawat jet latih T-50 bersama Lockheed Martin.
Adapun Indonesia menganggap KF-X sebagai platform alih teknologi untuk naik taraf dari bidang yang selama ini telah dikuasai, yaitu pengembangan pesawat turboprop.
Seorang insinyur yang terlibat dalam program KF-X menyebut bahwa Indonesia sudah menguasai 90 persen teknologi pesawat turboprop dan 60 persen teknologi yang dibutuhkan untuk membuat pesawat tempur.
Alih teknologi lewat program KF-X diharapkan membuat penguasaan teknologi Indonesia dalam pengembangan jet tempur bisa setara dengan pesawat turboprop.
Keterlibatan Indonesia dalam program KF-X terinspirasi dari kesuksesan sejumlah kemitraan antara kedua negara dalam alih teknologi alat utama sistem persenjataan (alutsista) di bidang maritim melalui produksi kapal landing platform dock dan kapal selam di PT PAL.
Korea Selatan selama beberapa dekade memang telah mengasah penguasaan teknologi maritim sehingga pernah mendominasi pasar industri perkapalan.
Namun, sektor industri dirgantara Korea Selatan memiliki ketergantungan besar terhadap teknologi dari Amerika Serikat yang selama ini dikenal menerapkan konsep globalisasi pertahanan.
Baca juga: Indonesia Investasikan Rp 18 Triliun untuk Pesawat Tempur KF-X/IF-X
Melalui konsep tersebut, AS dengan senang hati memberikan teknologi kepada negara lain demi meluaskan pengaruh politik internasional sambil membangun hegemoni struktural yang kemudian menciptakan ketergantungan teknologi (Caverley, 2007).
Korea Selatan juga menerapkan pendekatan globalisasi pertahanan kepada Indonesia dengan menawarkan alih teknologi.
Resep ini sebelumnya juga telah sukses diterapkan di Indonesia oleh Grup Airbus melalui kemitraan strategis dengan PT DI dalam pengembangan pesawat dan produksi komponen pesawat.
Hasilnya, Airbus mendapatkan pesanan pesawat dan helikopter terus-menerus dari program pengadaan alutsista TNI.
Bagai tumbu ketemu tutup, Indonesia selalu mencari cara mendekat ke sumber teknologi dirgantara canggih dengan tujuan mencapai kemandirian industri pertahanan.
Namun, Indonesia kemudian menyadari bahwa program KF-X telah terjerat ke dalam jaring military industrial complex AS yang menempatkan kolaborasi pertahanan di bawah proses politik rumit di Washington.
Tanpa adanya kesepakatan kerja sama teknis Indonesia dan AS dan status negara kita bukan sekutu sang adikuasa, insinyur Indonesia dilarang mengakses data teknis dari Lockheed Martin yang memberi 21 teknologi kunci kepada KAI untuk pengembangan KF-X.