Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelisik Kemungkinan PSK Turut Dipidana, Bukan Dilepaskan...

Kompas.com - 08/01/2019, 15:23 WIB
Fabian Januarius Kuwado,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun 2015, publik sempat geger dengan terungkapnya sindikat prostitusi online di mana pekerja seksnya berprofesi sebagai model dan publik figur.

Dari sang muncikari, Robby Abbas, didapatkan daftar siapa saja model dan publik figur yang 'dijual' ke lelaki hidung belang, beserta daftar harganya yang fantastis.

Model sekaligus aktris cantik berinisial AA adalah salah satu yang ramai diberitakan saat itu.

Baca juga: Ayah Vanessa Angel Shock Saat Tahu Anaknya Terlibat Kasus Prostitusi Online

Robby pun divonis hukuman penjara 1 tahun 4 bulan karena terbukti melanggar Pasal 296 KUHP, yakni melakukan perbuatan mempermudah orang lain berbuat cabul dan menjadikannya sebagai mata pencaharian.

Sementara itu, sederet model dan publik figur yang berada dalam daftar Robby, dinyatakan bebas.

Kini, publik kembali dihebohkan dengan kasus serupa. Kali ini melibatkan seorang model sekaligus pembawa acara di televisi berinisial VA.

Baca juga: Kuasa Hukum: Vanessa Angel Minta Maaf Bukan karena Terlibat Prostitusi Online

Sama seperti kasus Robby dan AA, Polisi menahan dua orang muncikari. Sementara, VA dan seorang rekannya sesama artis berinisial AS dibebaskan serta dilabeli sebagai korban dan status sebagai saksi.

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, kanan, dalam sebuah diskusi di Jakarta.Kompas.com Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, kanan, dalam sebuah diskusi di Jakarta.

Adilkah?

Pola pemidanaan dalam perkara prostitusi seperti ini mengusik rasa keadilan sebagian kalangan. Mengapa yang dijerat hanya muncikari? Mengapa sang pekerja seks tidak? Bukankah keduanya juga menikmati uang hasil tindakan haram tersebut?

Baca juga: Komnas Perempuan Minta Media Tak Eksploitasi Artis VA Terkait Kasus Dugaan Prostitusi

Pakar psikologi forensik Universitas Indonesia Reza Indragiri Amriel mengatakan, pendapat seperti itu sangatlah lumrah diajukan.

"Sebab faktanya, dewasa ini, seseorang yang menjadi pelacur adalah yang memilih profesi itu berdasarkan perhitungan bisnis untung rugi. Si pelacur berkehendak dan memutuskan sendiri dia itu akan menjadi pelacur. Artinya dia adalah pelaku aktif dalam praktik pelacuran," ujar Reza kepada Kompas.com, Selasa (8/1/2019).

Sangat jarang ditemukan lagi seseorang menjadi pekerja seks disebabkan oleh eksploitasi sekaligus intimidasi dari seorang lainnya yang berkuasa atas dirinya.

Baca juga: Komnas Perempuan: Berhenti Ekspos Penyelidikan Kasus Prostitusi Online

 

Sementara itu, lanjut Reza, hukum positif di Indonesia tak memosisikan pekerja seks sebagai pelaku, melainkan sebagai korban.

"Prinsip hukum ini berangkat dari pandangan bahwa setiap pelacur adalah manusia yang tak berdaya yang dieksploitasi pihak lain," ujar Reza.

Sebenarnya, konsep pemidanaan prostitusi 'zaman now' seperti ini sudah dirumuskan dalam sebuah konferensi perempuan di Beijing, China, beberapa tahun lalu. Dalam konferensi itu, dirumuskan bahwa ada yang namanya 'voluntary prostitution' dan 'involuntary prostitution'.

Baca juga: Polda Jatim Ogah Berpolemik tentang Keterlibatan Artis VA dalam Kasus Prostitusi

'Involuntary prostitution' adalah mereka yang menjajakan jasa seks atas dasar eksploitasi dan intimidasi. Sementara 'voluntary prostitution' adalah mereka yang secara sukarela, bahkan senang hati, menjual tubuhnya kepada pria hidung belang.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com