JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara Munti, menyatakan poligami sebenarnya sudah sejak lama menjadi akar permasalahan diskriminasi terhadap perempuan.
Namun, hingga kini poligami jarang mendapatkan tempat sebagai wacana publik.
"Masalah poligami sudah sejak lama terjadi. Harusnya pemerintah sudah membuat kebijakan melarang praktik poligami dengan mengubah Undang-Undang tentang Perkawinan karena selama ini poligami merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan," ujar Ratna.
Baca juga: PSI Janji Perjuangkan Larangan Poligami bagi Pejabat Publik hingga ASN
Diskriminasi tersebut, lanjut Ratna, terlihat dalam banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami perempuan yang terkena dampak poligami.
Menurut dia, banyak sekali suami yang melakukan poligami kemudian meninggalkan kewajibanya dan melantarkan keluarga yang pertama.
"Makin ke sini poligami kian berkembang. Dampaknya bisa secara psikis dan fisik kepada perempuan yang ditinggal suami karena lebih memilih istri yang kedua," imbuhnya.
Baca juga: PKS Tolak Gagasan PSI yang Ingin Larang Poligami bagi Pejabat
Untuk itu, ia meminta kepada pemerintah untuk merevisi UU Perkawinan Tahun 1974 yang menjadi celah praktik poligami di Indonesia.
UU Perkawinan yang dimaksud terdapat di Pasal 3 Ayat (2), yang mana pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
"UU perlu direvisi. Ditambah lagi banyak suami yang poligami tanpa melewat pengadilan dan persetujuan dari istri. Maka banyak sekali perempuan menjadi korban KDRT karena praktik poligami. Posisi kita jelas untuk menghapus diskriminasi terhadap kebijakan yang ada," paparnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.