Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Muhammadiyah, NU, dan Jusuf Kalla

Kompas.com - 21/11/2018, 18:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERNAH ada masa di republik kita ini, dua organisasi sosial keagamaan, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), hidup berdampingan tapi tidak mesra.

Malah, terkesan sekali di antara mereka, terdapat batu pal yang menandai garis pemisah di antara keduanya. Sebuah garis yang seolah tidak bakal bertemu.

Ketika itu, orang-orang Muhammadiyah tidak bakal datang sholat di masjid NU, begitu juga sebaliknya.

Suami kakak saya, kader Muhammadiyah tulen. Ayah saya, kader NU asli. Kami serumah, tetapi antara kakak ipar dan ayah, tidak saling bertegur sapa untuk waktu yang cukup lama.

Perang internal di rumah kami selalu terjadi secara dahsyat hanya lantaran ayah suka qunut pada saat sholat Subuh, membesarkan suara pada saat membaca basmalah ketika sholat, senang datang membaca tahlilan di saat ada yang berdukacita, dan seterusnya.

Kakak ipar menganggap semua itu bertentangan dengan yang diajarkan atau dipraktikkan oleh Nabi Muhammad.

Perang kian berkobar menjelang penentuan hari Raya Idul Fitri. Muhammadiyah, seingat saya sejak masih kecil, selalu sehari lebih dahulu berlebaran dibanding NU.

Perang antara mertua dan menantu nyaris berakhir perceraian antara kakak saya dengan suaminya.

Beginilah kondisi hubungan NU-Muhammadiyah yang mengantar saya dari masa kanak-kanak hingga SMA.

Kini, garis-garis pemisah itu tidak lagi diametris, tetapi sudah mulai simetris. Perbedaan tentang tata cara beribadah tidak lagi menggunakan idiom-idiom haram atau halal.

Perbedaan-perbedaan tersebut kini tinggal dipersepsikan oleh kedua belah pihak sebagai paradigma belaka, yang timbul lantaran penafsiran dan di sudut mana kita berdiri memandang persoalan. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lagi dikaitkan dengan akidah.

Muhammadiyah Award

Pekan lalu, Muhammadiyah menganugerahi Muhammadiyah Award kepada Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI, sesuatu yang tidak mungkin diimpikan di masa lalu.

Jusuf Kalla adalah seorang Mu’tasyar NU. Ia bukan sekadar simpatisan, anggota atau aktivis biasa di NU.

Pemberian penghargaan tersebut tidak diiringi protes dan penolakan dari NU. Dalam konteks ini, Muhammadiyah dan NU telah bertemu. Garis-garis pemisah masa silam, kini sudah menemukan titik persamaannya.

Muhammadiyah menganggap dan merasakan bagaimana Jusuf Kalla telah merajut perbedaan-perbedaan bangsa ini menjadi sebuah sulaman indah.

Muhammadiyah menilai Jusuf Kalla sangat lincah meliukkan badan, kiri dan kanan, hanya untuk mendamaikan orang-orang yang sedang bertikai, kelompok-kelompok yang bersilangan dalam berbagai motif dan latar belakang, terutama pertikaian yang bermotif SARA.

Muhammadiyah merasakan betul keikhlasan seorang Jusuf Kalla dalam menyemen segmen-segmen sosial yang mulai menunjukkan gelagat retak.

Keikhlasan itulah yang membuat  Jusuf Kalla tak hirau dengan harga yang harus dibayarnya untuk mendamaikan anak-anak manusia yang bertikai.

Muhammadiyah dan NU telah menemukan pangkalan yang sama, tempat bertolak dan berlabuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) menerima penghargaan Muhammadiyah Award dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kanan) pada acara Milad Muhammadiyah ke-106 di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Minggu (18/11/2018). Milad ke-106 Muhammadiyah yang bertajuk Taawun Untuk Negeri dengan mengajak masyarakat semangat tolong menolong, kerjasama, dan membangun kebersamaan di antar umat dan bangsa Indonesia.ANTARA/MOHAMMAD AYUDHA Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) menerima penghargaan Muhammadiyah Award dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kanan) pada acara Milad Muhammadiyah ke-106 di Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, Minggu (18/11/2018). Milad ke-106 Muhammadiyah yang bertajuk Taawun Untuk Negeri dengan mengajak masyarakat semangat tolong menolong, kerjasama, dan membangun kebersamaan di antar umat dan bangsa Indonesia.

Anugerah Muhammadiyah ke Jusuf Kalla bukan sekedar penghargaan personal ke diri Jusuf Kalla, tetapi isyarat jelas dari Muhammadiyah ke bangsa kita. Sebuah petunjuk bahwa martabat manusia itu sangat tinggi nilainya, melampaui kepentingan sesaat untuk kenikmatan seketika.

Mendamaikan orang itu adalah ibadah yang melampaui nilai ibadah sodakah dan sejumlah ibadah lainnya.

Anugerah Muhammadiyah ke Jusuf Kalla adalah signal kuat dari organisasi ini bahwa sekat-sekat pemisah antara Muhammadiyah dan NU, kini sudah tiada lagi.

Baik Muhammadiyah, maupun NU, tegak dalam pangkalan yang sama bahwa setiap orang yang yang ikhlas menyemen keretakan, adalah pahlawan kemanusiaan yang patut diberi penghargaan.

Muhammadiyah dan NU berjalan seiring dengan pandangan yang sama bahwa konflik anak-anak bangsa, terutama yang bermotif SARA,  bisa dihentikan dengan pandangan holistik dan universal: martabat manusia adalah di atas segala kepentingan.

Pesan yang relevan

Pesan kuat Muhammadiyah melalui penghargaan ke Jusuf Kalla, yang diamini oleh NU tersebut, terasa kian relevan sekarang ini.

Tak pelik kita menelisik, betapa dahsyatnya arus kepentingan politik dari sejumlah politisi tuna akhlak dan defisit moral, yang dengan enteng menggunakan agama untuk mengoleng kapal yang bernama bangsa Indonesia ini.

Agama seolah menjadi barang komoditi yang dijajakan dengan enteng, mengikuti hukum ekonomi: supply and demand.

Kita tengah menyaksikan dan mengalami, orang dengan gampang mengklaim kebenaran dan menutup pintu adanya kemungkinan kebenaran dari orang lain.

Agama jadi instrumen pembenaran atas klaim kebenaran yang dibuatnya, dan juga di saat yang berbarengan, agama dijadikan instrumen untuk menegasi kebenaran orang atau kelompok lain.

Dengan agama, karena itu, surga menjadi barang murah yang dijajakan dengan gampang. Di sinilah hulu persoalan. Di sinilah pangkal konflik komunal itu. Semua membawa agama untuk mengklaim kebenaran dan lalu menjanjikan sorga bagi siapa yang ikut dengan klaim kebenaran tersebut.

Muhammadiyah ingin menghentikan itu. NU tidak cocok dengan cara tersebut. Keduanya berprinsip bahwa agama itu adalah rahmatan lil alamin. Dalam perspektif inilah Muhammadiyah Award ke Jusuf Kalla itu, seyogianya kita tempatkan.

Dalam perang atau konflik, terutama perang-konflik yang berkaitan dengan etnis, ras, dan agama, damai sangat sulit diwujudkan. Tapi lebih sulit lagi menemukan orang yang bisa mendamaikan. Muhammadiyah telah menemukan orang yang bisa mendamaikan orang lain, Jusuf Kalla.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

Nasional
Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Nasional
Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Nasional
Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Nasional
 Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Nasional
PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

Nasional
PAN Setia Dukung Prabowo Selama 15 Tahun, Zulhas: Ada Kesamaan Visi dan Cita-cita

PAN Setia Dukung Prabowo Selama 15 Tahun, Zulhas: Ada Kesamaan Visi dan Cita-cita

Nasional
Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Koalisi Vs Oposisi: Mana Cara Sehat Berdemokrasi?

Nasional
Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Pansel Capim KPK Diminta Tak Buat Kuota Pimpinan KPK Harus Ada Unsur Kejaksaan atau Kepolisian

Nasional
Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Berkaca dari Kasus Firli, Pansel Capim KPK Diminta Lebih Dengarkan Masukan Masyarakat

Nasional
Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan

Sidang Kasus SYL Menguak Status Opini WTP BPK Masih Diperjualbelikan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com