PERNAH ada masa di republik kita ini, dua organisasi sosial keagamaan, Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU), hidup berdampingan tapi tidak mesra.
Malah, terkesan sekali di antara mereka, terdapat batu pal yang menandai garis pemisah di antara keduanya. Sebuah garis yang seolah tidak bakal bertemu.
Ketika itu, orang-orang Muhammadiyah tidak bakal datang sholat di masjid NU, begitu juga sebaliknya.
Suami kakak saya, kader Muhammadiyah tulen. Ayah saya, kader NU asli. Kami serumah, tetapi antara kakak ipar dan ayah, tidak saling bertegur sapa untuk waktu yang cukup lama.
Perang internal di rumah kami selalu terjadi secara dahsyat hanya lantaran ayah suka qunut pada saat sholat Subuh, membesarkan suara pada saat membaca basmalah ketika sholat, senang datang membaca tahlilan di saat ada yang berdukacita, dan seterusnya.
Kakak ipar menganggap semua itu bertentangan dengan yang diajarkan atau dipraktikkan oleh Nabi Muhammad.
Perang kian berkobar menjelang penentuan hari Raya Idul Fitri. Muhammadiyah, seingat saya sejak masih kecil, selalu sehari lebih dahulu berlebaran dibanding NU.
Perang antara mertua dan menantu nyaris berakhir perceraian antara kakak saya dengan suaminya.
Beginilah kondisi hubungan NU-Muhammadiyah yang mengantar saya dari masa kanak-kanak hingga SMA.
Kini, garis-garis pemisah itu tidak lagi diametris, tetapi sudah mulai simetris. Perbedaan tentang tata cara beribadah tidak lagi menggunakan idiom-idiom haram atau halal.
Perbedaan-perbedaan tersebut kini tinggal dipersepsikan oleh kedua belah pihak sebagai paradigma belaka, yang timbul lantaran penafsiran dan di sudut mana kita berdiri memandang persoalan. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lagi dikaitkan dengan akidah.
Muhammadiyah Award
Pekan lalu, Muhammadiyah menganugerahi Muhammadiyah Award kepada Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI, sesuatu yang tidak mungkin diimpikan di masa lalu.
Jusuf Kalla adalah seorang Mu’tasyar NU. Ia bukan sekadar simpatisan, anggota atau aktivis biasa di NU.
Pemberian penghargaan tersebut tidak diiringi protes dan penolakan dari NU. Dalam konteks ini, Muhammadiyah dan NU telah bertemu. Garis-garis pemisah masa silam, kini sudah menemukan titik persamaannya.
Muhammadiyah menganggap dan merasakan bagaimana Jusuf Kalla telah merajut perbedaan-perbedaan bangsa ini menjadi sebuah sulaman indah.
Muhammadiyah menilai Jusuf Kalla sangat lincah meliukkan badan, kiri dan kanan, hanya untuk mendamaikan orang-orang yang sedang bertikai, kelompok-kelompok yang bersilangan dalam berbagai motif dan latar belakang, terutama pertikaian yang bermotif SARA.
Muhammadiyah merasakan betul keikhlasan seorang Jusuf Kalla dalam menyemen segmen-segmen sosial yang mulai menunjukkan gelagat retak.
Keikhlasan itulah yang membuat Jusuf Kalla tak hirau dengan harga yang harus dibayarnya untuk mendamaikan anak-anak manusia yang bertikai.
Muhammadiyah dan NU telah menemukan pangkalan yang sama, tempat bertolak dan berlabuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Anugerah Muhammadiyah ke Jusuf Kalla bukan sekedar penghargaan personal ke diri Jusuf Kalla, tetapi isyarat jelas dari Muhammadiyah ke bangsa kita. Sebuah petunjuk bahwa martabat manusia itu sangat tinggi nilainya, melampaui kepentingan sesaat untuk kenikmatan seketika.
Mendamaikan orang itu adalah ibadah yang melampaui nilai ibadah sodakah dan sejumlah ibadah lainnya.
Anugerah Muhammadiyah ke Jusuf Kalla adalah signal kuat dari organisasi ini bahwa sekat-sekat pemisah antara Muhammadiyah dan NU, kini sudah tiada lagi.
Baik Muhammadiyah, maupun NU, tegak dalam pangkalan yang sama bahwa setiap orang yang yang ikhlas menyemen keretakan, adalah pahlawan kemanusiaan yang patut diberi penghargaan.
Muhammadiyah dan NU berjalan seiring dengan pandangan yang sama bahwa konflik anak-anak bangsa, terutama yang bermotif SARA, bisa dihentikan dengan pandangan holistik dan universal: martabat manusia adalah di atas segala kepentingan.
Pesan yang relevan
Pesan kuat Muhammadiyah melalui penghargaan ke Jusuf Kalla, yang diamini oleh NU tersebut, terasa kian relevan sekarang ini.
Tak pelik kita menelisik, betapa dahsyatnya arus kepentingan politik dari sejumlah politisi tuna akhlak dan defisit moral, yang dengan enteng menggunakan agama untuk mengoleng kapal yang bernama bangsa Indonesia ini.
Agama seolah menjadi barang komoditi yang dijajakan dengan enteng, mengikuti hukum ekonomi: supply and demand.
Kita tengah menyaksikan dan mengalami, orang dengan gampang mengklaim kebenaran dan menutup pintu adanya kemungkinan kebenaran dari orang lain.
Agama jadi instrumen pembenaran atas klaim kebenaran yang dibuatnya, dan juga di saat yang berbarengan, agama dijadikan instrumen untuk menegasi kebenaran orang atau kelompok lain.
Dengan agama, karena itu, surga menjadi barang murah yang dijajakan dengan gampang. Di sinilah hulu persoalan. Di sinilah pangkal konflik komunal itu. Semua membawa agama untuk mengklaim kebenaran dan lalu menjanjikan sorga bagi siapa yang ikut dengan klaim kebenaran tersebut.
Muhammadiyah ingin menghentikan itu. NU tidak cocok dengan cara tersebut. Keduanya berprinsip bahwa agama itu adalah rahmatan lil alamin. Dalam perspektif inilah Muhammadiyah Award ke Jusuf Kalla itu, seyogianya kita tempatkan.
Dalam perang atau konflik, terutama perang-konflik yang berkaitan dengan etnis, ras, dan agama, damai sangat sulit diwujudkan. Tapi lebih sulit lagi menemukan orang yang bisa mendamaikan. Muhammadiyah telah menemukan orang yang bisa mendamaikan orang lain, Jusuf Kalla.
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/21/18462161/muhammadiyah-nu-dan-jusuf-kalla